Kamis, 30 Oktober 2008

FUNGSI PENGAWASAN

PERSPEKTIF FUNGSI PENGAWASAN
KOMISI YUDISIAL PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK)
NOMOR 005/PUU-IV/2006

ABSTRAKSI

Malik, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, 2007, Perspektif Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, Komisi Pembimbing, Ketua: Sudarsono, Anggota: Tunggul Anshari SN.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya praktek penyalahgunaan wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan merusak seluruh sendi peradilan yang mengakibatkan menurunnya kewibawaan dan kepercayaan badan peradilan terhadap masyarakat dan dunia internasional. Terjadinya praktek penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan disebabkan oleh banyak faktor antara lain dan terutama adalah tidak efektifnya pengawasan internal (fungsional) yang ada di badan peradilan. Disadari bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan. Oleh karena itu, dibutuhkan kehadiran suatu lembaga khusus yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim. Lembaga khusus tersebut adalah Komisi Yudisial.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bertujuan untuk mendiskripsikan dan mengkaji asas-asas hukum, taraf sinkronisasi hukum, sistematika hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum tentang pengaturan kewenangan Komisi Yudisial serta pengaturan fungsi Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ada perbedaan rumusan mengenai pengaturan kewenangan Komisi Yudisial yang diatur dalam pasal 24B UUD 945 dan pasal 13 UU No 22 Tahun 2004. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 dikatakan bahwa ”Komisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)”. Padahal dalam pasal 24B UUD 1945 dinyatakan”Komisi Yudisial bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung .
Dari segi kewenangan yang kedua, pasal 24B UUD 1945 menentukan ”Komisi Yudisial mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim”. Dari ketentuan ini dapat dielaborasi menjadi (i) menjaga kehormatan hakim; (ii) menjaga keluhuran martabat hakim; (iii) menjaga perilaku hakim; (iv) menegakkan kehormatan hakim; (v) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (vi) menegakkan perilaku hakim. Dalam kata ”menjaga” terkandung pengertian tindakan yang bersifat preventif, sedangkan dalam kata ”menegakkan” terdapat pengertian tindakan yang bersifat korektif. Karena itu, tiga kewenangan yang pertama bersifat preventif atau pencegahan, sedangkan tiga yang kedua bersifat korektif. Namun didalam rumusan pasal 13 UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial huruf b, rumusan salah satu kewenangan Komisi Yudisial tersebut diubah menjadi “menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim” . jika dielaborasi cakupannya menjadi jauh lebih sempit, yaitu hanya (i) menegakkan kehormatan hakim; (ii) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (iii) menjaga perilaku hakim. Ini menunjukkan bahwa pembentuk Undang-undang telah mengabaikan asas”kejelasan rumusan” yang mensyaratkan bahwa setiap peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas, dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Substansi pengaturan fungsi pengawasan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 sekurang-kurangnya harus mencakup tiga hal yaitu: (1) Obyek Pengawasan Komisi Yudisial adalah semua hakim yang meliputi Hakim pada Mahkamah Agung, hakim pada badan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung dalam lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan Hakim Pada Mahkamah Konstitusi; (2) Ruang Lingkup Pengawasan Komisi Yudisial adalah sebatas ”perilaku hakim” bukan teknis yudisial. Untuk itu Komisi Yudisial tidak boleh memasuki teknis yudisial dengan mengkaji putusan yang independensinya dijamin secara konstitusional; (3) Pedoman Pengawasan perilaku hakim oleh Komisi Yudisial ditetapkan melalui Code of Ethics.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Permasalahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah adanya Komisi Yudisial.
Praktek penyalahgunaan wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan merusak seluruh sendi peradilan, mengakibatkan menurunnya kewibawaan dan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap badan peradilan. Keadaan badan peradilan yang demikian tidak dapat dibiarkan terus berlangsung, perlu dilakukan upaya-upaya yang luar biasa yang berorientasi kepada terciptanya badan peradilan dan hakim yang sungguh-sungguh dapat menjamin masyarakat dan pencari keadilan memperoleh keadilan, dan diperlakukan secara adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan.
Disadari bahwa terjadinya praktek penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan sebagaimana dikemukakan di atas, disebabkan oleh banyak faktor antara lain dan terutama adalah tidak efektifnya pengawasan internal (fungsional) yang ada di badan peradilan. Sehingga tidak terbantahkan, bahwa pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut.
Menurut Mas Achmad Santosa, bahwa lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai, (2) proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, (3) belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses), (4) semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu, dan (5) tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindak-lanjuti hasil pengawasan.[1]
Beranjak dari pendapat di atas, menunjukkan bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan peradilan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim, sehingga membuka peluang bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan kode etik untuk mendapat “pengampunan” dari pimpinan badan peradilan yang bersangkutan, sehingga tidak dikenakan sanksi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dibutuhkan kehadiran suatu lembaga khusus yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim. Lembaga khusus tersebut adalah Komisi Yudisial.
Dibentuknya Komisi Yudisial pada perubahan ke 3 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan reaksi terhadap kegagalan sistem peradilan untuk menciptakan peradilan yang lebih baik. Kegagalan sistem peradilan tersebut menyangkut banyak aspek mulai dari aspek kelembagaan, aspek substansi dan aspek budaya hukum. Aspek kelembagaan antara lain mencakup sub aspek pengawasan baik pengawasan administrasi, teknis yudisial maupun perilaku hakim. Pengawasan perilaku hakim yang dilakukan Ketua Muda Urusan Pengawasan dan Pembinaan (TUADA WASBIN) dipandang belum berhasil.
Kegagalan sistem pengawasan sebagaimana tersebut diatas yang kelihatannya belum dapat diatasi oleh Mahkamah Agung, namun dilain pihak pada waktu yang bersamaan juga dilaksanakan konsep peradilan satu atap (one roof system) yang justru menimbulkan kekhawatiran terjadinya monopoli kekuasaan di Mahkamah Agung.
Situasi dan kekhawatiran tersebut mendorong lahirnya gagasan ke arah pembentukan lembaga independen yang berada diluar Mahkamah Agung, yang dapat mengimbangi agar tidak terjadi monopoli ke kuasaan pada lembaga tersebut. Dalam rangka merealisasikan gagasan tersebut dibentuklah Komisi Yudisial yang diharapkan menjadi “external auditor”, yang dapat mengimbangi pelaksana kekuasaan kehakiman. Adanya sistem pengawasan dan saling imbang dalam sistem kekuasaan kehakiman tersebut diharapkan dapat mendorong terciptanya peradilan yang lebih baik.
Sebagai pelaku utama badan peradilan, maka posisi dan peran hakim agung dan hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya sangat memerlukan pengawasan yang efektif. Melalui putusannya, seorang hakim misalnya: dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai dengan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang, dan lain-lain. Oleh karena itu, wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran, dan keadilan sesuai kode etik tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum (equality before the law) dan hakim. Kewenangan hakim yang sangat besar itu menuntut tanggungjawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk dapat melaksanakan semua fungsinya secara efektif, hakim tentu membutuhkan kepercayaan dari masyarakat dan pencari keadilan. Hanya dengan adanya kepercayaan itulah pengadilan dapat menyelesaikan perkara melalui jalur hukum dengan baik. Kepercayaan terhadap lembaga peradilan tidaklah muncul dengan sendirinya, tetapi harus melalui berbagai pembuktian bahwa badan peradilan dan hakim sungguh-sungguh menjunjung tinggi hukum serta menegakkan kebenaran dan keadilan secara benar dan konsisten. Oleh karenanya, dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan itu, maka hakim sebagai pelaksana utama dari fungsi pengadilan, harus mempunyai komitmen, tekad, dan semangat dalam membersihkan badan peradilan dari segala bentuk penyalahgunaan wewenang dalam rangka memulihkan kewibawaan badan peradilan dan upaya memulihkan kepercayaan masyarakat kepada hakim. Salah satu hal penting yang disorot masyarakat untuk mempercayai hakim, adalah perilaku dari hakim yang bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam kesehariannya. Karena itu setiap hakim harus menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Terkait dengan tugas Mahkamah Konstitusi untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, pada tanggal 10 Maret 2006 terdapat pengajuan permohonan ke Mahkamah Konstitusi oleh 31 Hakim Agung terhadap peninjauan atas Undang-Undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dengan registrasi nomor 005/ PUU-IV/2006.
Dalam permohonan tersebut, 31 Hakim Agung mengajukan judicial review atas pasal 1 angka 5, pasal 20, pasal 21, pasal 22 ayat (1) dan (5), pasal 23 ayat (2), (3), dan (5), pasal 24 ayat (1), pasal 25 ayat (3) dan (4) Undang- Undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi yudisial dan pasal 34 ayat (3) Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 005/ PUU/IV-2006, menyatakan bahwa:
Pertama: permohonan para pemohon menyangkut perluasan pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim konstitusi bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial. Pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim Mahkamah Konstitusi akan mengganggu dan memandulkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara;
Kedua: permohonan para pemohon menyangkut pengertian hakim menurut Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 tidak cukup beralasan. Oleh karena itu, permohonan para pemohon sepanjang menyangkut hakim agung tidak terdapat cukup alasan untuk mengabulkannya. Mahkamah Konstitusi tidak menemukan dasar konstitusionalitas dihapuskannya pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim agung;
Ketiga: Menyangkut fungsi pengawasan, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa segala ketentuan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Undang- Undang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).
Putusan MK Nomor 005/ PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006, telah membawa perubahan terhadap Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan terhadap sistem hukum Indonesia. Perubahan terbesar dialami oleh Komisi Yudisial, yaitu menyangkut pembatalan fungsi pengawasan Komisi Yudisial.
Dengan adanya pembatalan tersebut, mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum (rechts vakum) yang berfungsi sebagai dasar pijakan Komisi Yudisial untuk melaksanakan pengawasan terhadap perilaku hakim, sehingga diperlukan secepatnya revisi Undang- Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan fungsi pengawasan.

1.2. Rumusan Masalah
Dari paparan di atas ada beberapa hal yang dapat penulis angkat sebagai masalah yaitu:
1. Bagaimanakah pengaturan kewenangan Komisi Yudisial dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;?
2. Bagaimanakah perspektif pengaturan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006?

1.3. Tujuan Penelitian
Beberapa permasalahan tersebut di atas menurut peneliti perlu dan mendesak untuk diteliti dengan maksud dan tujuan untuk:
1. Mengetahui dan menganalisa pengaturan kewenangan Komisi Yudisial dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;
2. Mengetahui dan menganalisa tentang perspektif pengaturan fungsi pengawasan Komisi Yudisial Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006.

1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara akademis studi ini diharapkan memberikan manfaat keilmuan secara teoritikal dan konseptual yang dapat dikembangkan dalam ranah studi hukum tata negara, khususnya pemikiran tentang wewenang dan fungsi pengawasan Komisi Yudisial pasca putusan Mahkamah Konstitusi;
2. Secara praktik, studi ini juga secara langsung dapat memberikan manfaat dalam rangka memberi bentuk pada peran Komisi Yudisial yang lebih ideal dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri sesuai dengan tuntutan negara hukum Indonesia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Negara Hukum
Jika dirunut ke belakang, maka faham negara hukum sebetulnya merupakan konsep yang sudah lama menjadi discourse para ahli. Plato mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai cikal bakal pemikiran tentang negara hukum. Sedangkan Ariestoteles mengemukakan ide negara hukum yang dikaitkan dengan arti negara yang dalam perumusannya masih terkait pada polis. Bagi Ariestoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum.[2]
Istilah rechtstaat (negara hukum) merupakan istilah baru, baik jika dibandingkan dengan istilah demokrasi, konstitusi, maupun kedaulatan rakyat. Para ahli telah memberikan pengertian tentang negara hukum. R. Supomo misalnya memberikan pengertian terhadap negara hukum sebagai negara yang tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan negara. Negar hukum juga akan menjamin tertib hukum dalam masyarakat yang artinya memberikan perlindungan hukum, antara hukum dan kekuasaan ada hubungan timbal balik.[3]
Konsepsi negara hukum merupakan gagasan yang muncul untuk menentang absolutisme yang telah melahirkan negara kekuasaan. Pada pokoknya kekuasaan penguasa (raja) harus dibatasi agar jangan memperlakukan rakyat dengan sewenang-wenang. Pembatasan itu dilakukan dengan jalan adanya supremasi hukum, yaitu bahwa segala tindakan penguasa tidak boleh sekehendak hatinya , tetapi harus berdasar dan berakar pada hukum, menurut ketentuan hukum dan Undang-undang yang berlaku dan untuk itu juga harus ada pembagian kekuasaan negara khususnya kekuasaan yudikatif yang dipisahkan dari penguasa.[4]
Menurut M. Tahir Azhary, dalam kepustakaan ditemukan lima konsepsi negara hukum, yakni:
1. Negara Hukum Nomokrasi Islam yang diterapkan di negara-negara islam;
2. Negara Hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtstaat;
3. Negara Hukum Rule of Law yang diterapkan di negara-negara Anglo Saxon;
4. Negara Hukum Socialist yang diterapkan di negara komunis dan ;
5. Negara Hukum Pancasila.[5]

Konsep Negara Hukum Nomokrasi Islam memiliki ciri-ciri : bersumber dari AlQur’an, Sunah dan Ra’yu. Adapun unsur-unsur utamanya meliputi:
1. Kekuasaan sebagai amanah;
2. Musyawarah;
3. Keadilan;
4. Persamaan;
5. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia;
6. Perdailan bebas;
7. Perdamaian;
8. Kesejahteraan; dan
9. ketaatan rakyat.[6]
Konsep rechstaat bersumber dari rasio manusia, liberalistik individualistik, humanisme yang antroposentrik, serta pemisahan negara dengan agama secara mutlak (ateisme dimungkinkan). Adapun unsur-unsur utama menurut F.J. Stahl terdapat empat unsur dari negara hukum yaitu:
1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia;
2. Adanya pembagian kekuasaan;
3. Pemerintah harus berdasarkan peraturan-peraturan hukum; dan
4. Adanya peradilan administrasi.[7]
Sementara menurut Sceltema unsur-unsurnya terdiri dari:
1. Kepastian hukum;
2. Persamaan;
3. Demokrasi dan;
4. Pemerintahan yang melayani kepentingan umum.
Konsep Rule of Law sumbernya sama dengan konsep rechtstaat. Adapun unsur-unsur utamanya dalam uraian A.V. Dicey mencakup:
1. Supremasi aturan-aturan hukum. Tidak adanya aturan sewenangan-wenang dalam arti bahwa seseorang boleh dihukum jika melanggar hukum;
2. Kedudukan yang sama di hadapan hukum;
3. Terjaminnya hak asasi manusia oleh Undang-undang serta putusan-putusan pengadilan.
Bertitik tolak dari falsafah Pancasila Philipus. M. Hadjon merumuskan elemen atau unsur-unsur negara hukum Pancasila sebagai berikut:
1. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan negara
3. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir;
4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.[8]
Selanjutnya International Commision of Jurist, yang merupakan organisasi ahli hukum internasional dalam konfrensinya di Bangkok tahun 1965 memperluas konsep Rule of Law dan menekankan apa yang dinamakan: ”The dinamic of the rule of law in the modern age”. Dikemukakan bahwa syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah rule of law ialah:
1. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak individu harus menentukan juga cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3. Pemilihan umum yang bebas;
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi serta;
6. Pendidikan kewarganegaraan.
Jimly Asshiddiqie[9] menyebutkan bahwa paling tidak ada sebelas prinsip pokok yang terkandung dalam negara hukum yang demokratis, yaitu:
1. Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama;
2. Adanya pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan/pluralitas;
3. Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama;
4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang ditaati bersama;
5. Adanya pengakuan dan penghormatan terhadap HAM;
6. Adanya pembatasan kekuasan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengkrta ketatanegaraan antar lembaga negara, baik secara vertikal maupun horisontal;
7. Adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak dengan kewibawaan putusan tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran;
8. Adanya lembaga peradilan yang dibentuk khusus untuk menjamin keadilan bagi warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintah (pejabat administrasi negara);
9. Adanya mekanisme judicial review oleh lembaga peradilan terhadap norma-norma ketentuan legislatif, baik yang ditetapkan lembaga legislatif maupun eksekutif; dan
10. Dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan pelaksanaan prinsip-prinsip di atas;
11. Adanya pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara.

Salah satu ciri negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar faham konstitusionalisme modern.
Upaya untuk mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan itu tidak berhenti hanya dengan munculnya gerakan pemisahan kekuasaan raja dan kekuasaan pendeta serta pimpinan gereja. Upaya pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan pola-pola pembatasan didalam pengelolaan internal kekuasaan negara itu sendiri, yaitu dengan melakukan pembedaan dan pemisahan kekuasaan negara kedalam beberapa fungsi yang berbeda-beda. Dalam hubungan ini yang dianggap paling berpengaruh pemikirannya dalam mengadakan pembedaan fungsi-fungsi kekuasaan itu adalah Montesquieu dengan teori trias politicanya.
Pada mulanya teori pemisahan kekuasaan ini diintro­dusir oleh John Locke (1632-1704). Menurutnya, kemung­kinan munculnya negara dengan konfigurasi politik totaliter bisa dihindari dengan membatasi kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Menurut Locke, hal ini dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).[10]
Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat Undang-undang dan peraturan-peraturan hukum funda­mental lainnya. Kekuasaan. Eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan Undang-undang dan peraturan­-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antar ­negara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing. Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik yang berkenaan dengan tugas maupun fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang menyelenggarakannya.[11] Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk men­cegah konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.[12] Dengan adanya kekuasaan yang telah terbatasi, pemegang kekuasaan tidak dapat dengan mudah menyalahgunakan kekuasaannya, karena ada mekanisme kontrol yang harus dilaluinya. Pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara lebih terjamin.[13]
Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montes­quieu yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu, karena pada titik inilah letak kemerdekaan individu dan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Montesquieu sangat menekankan kebebasan kekuasaan yudikatif, karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja.[14]
Uraian di atas memperlihatkan bahwa Montesquieu menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kemer­dekaan kekuasaan yudikatif. Argumentasi yang dikemukakan pemikiran ini adalah bahwa kekuasaan yudikatif yang merdeka, secara maksimal dapat melindungi hak-hak warga negara dari kekuasaan yang despotis. Menurut C.F. Strong, kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif inilah yang secara teknis disebut dengan istilah Government (Peme­rintah) yang merupakan alat-alat perlengkapan negara.
Dalam doktrin Trias Politica, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang harus dipegang adalah kekuasaan yudikatif dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan badan eksekutif.” Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya demi pene­gakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Melalui asas kebebasan kekuasaan yudikatif diharapkan menghasilkan keputusan yang tidak memihak dan semata-­mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim dapat diwujudkan.
Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan untuk menangani dan menyelesaiakan konflik yang terjadi dalam kehidupan suatu negara dalam segala derivasinya.
Mirip dengan itu, sarjana Belanda, van Vollenhoven membagi fungsi kekuasaan juga dalam empat fungsi yang kemudian biasa disebut dengan “catur praja”, yaitu:
1. Regeling (pengaturan) yang kurang lebih identik dengan fungsi legislatif menurut Montesquieu;
2. Bestuur yang identik dengan fungsi pemerintahan eksekutif;
3. Rechsraak (peradilan); dan
4. Politie yang menurutnya merupakan fungsi untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat dan peri kehidupan negara
Berbeda dengan van Vollenhoven, W.I.G. Lemaire membentangkan teori “panca praja” dengan membedakan kekuasaan negara menjadi lima, yaitu:
1. Bestuurorg (penyelenggaraan kesejahteraan umum);
2. Bestuur (pemerintahan dalam arti sempit);
3. Perundang-undangan;
4. Pengadilan; dan
5. Kepolisian.
Disamping itu, dalam studi ilmu administrasi publik, dikenal pula adanya teori yang membagi kekuasaan kedalam dua fungsi saja. Kedua fungsi itu adalah (i) fungsi pembuatan kebijakan (policy making function), dan (ii) fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing fungction).
Seperti diuraikan di atas, persoalan pembatasan kekuasaan (limitation of power) berkaitan erat dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan teori pembagian kekuasaan (division of power). Istilah “Pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politika atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquie, harus dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Kekuasaan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif, kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan demikian pula kekuasaan yudikatif hanya dilakukan oleh cabang kekuasaan yudisial. Sehingga pada intinya satu organ hanya mempunyai satu satu fungsi.
Sebagai sandingan dari konsep pemisahan kekuasaan, para ahli juga menggunakan istilah pembagian kekuasaan sebagai terjemahan perkataan division of power atau distribution of power. Ada pula sarjana yang menggunakan division of power itu sebagai genus, sedangkan separation of power sebagai speciesnya. Bahkan misalnya , Arthur Mass membedakan pengertian pembagian kekuasaan tersebut kedalam dua pengertian yaitu: (i) capital division of power, dan (ii) teritorial division of power. Pengertian yang pertama bersifat fungsional, sedangkan pengertian yang kedua bersifat kedaerahan.
Oleh karena itu, istilah-istilah separation of power, division of power, distribution of power, dan demikian istilah-istilah pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan, sebenarnya mempunyai arti yang sama saja tergantung konteks pengertian yang dianut. Di Amerika misalnya, dalam Konstitusinya, kedua istilah separation of power dan distribution of power sama-sama digunakan. Hanya saja, istilah division of power digunakan dalam konteks pembagian kekuasaan antara federal dan negara bagian, atau menurut pengertian Arthur Mass yang terkait dengan territorial division of power, sedangkan separation of power dipakai dalam konteks pembagian kekuasaan di tingkat pemerintah federal, yaitu antara legislature, the executive, dan judiciary. Pembagian yang terakhir inilah yang oleh Arthur Mass dimaksud sebagai capita division of power.
Dengan demikian dapat dibedakan penggunaan istilah pembagian dan pemisahan kekuasaan dalam dua konteks yang berbeda, yaitu konteks hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal atau vertikal. Dalam konteks yang vertikal, pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan itu dimaksud untuk membedakan antara kekuasaan pemerintah atasan dan kekuasaan pemerintah bawahan, yaitu dalam hubungan antara pemerintah federal dan negara bagian dalam negara federal, atau antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam negara kesatuan. Perspektif vertical versus horisontal ini juga dapat dipakai untuk membedakan antara konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dianut di Indonesia sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dianggap berada di tangan rakyat dan dijelmakan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. Sistem yang dianut dalam UUD 1945 sebelum perubahan dapat dianggap sebagai pembagian kekuasaan (division of power) dalam konteks pengertian yang bersifat vertikal. Sedangkan sekarang setelah perubahan Keempat, sistem yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) berdasarkan prinsip check and balance. Oleh sebab itu, istilah division of power, distribution of power, dan separation of power sebenarnya dapat saja dipertukarkan maknanya satu sama lain.
Untuk membatasi pengertian separation of powers itu, G. Marshall dalam bukunya “Contitutional Theory” membedakan ciri-ciri doktrin pemisahan kekuasaan itu kedalam lima aspek yaitu:
1. Doktrin pemisahan kekuasaan itu bersifat membedakan fungsi-fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial. Legislator membuat aturan, eksekutor melaksanakannya, sedangkan pengadilan menilai konflik atau perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan aturan;
2. Doktrin pemisahan kekuasaan menghendaki orang yang menduduki jabatan dilembaga legislatif tidak boleh merangkap pada jabatan diluar jabatan legislatif. Meskipun demikian, dalam praktek sistem pemerintahan parlemen, hal ini tidak diterapkan secara konsisten. Para menteri pemerintahan kabinet di Inggris justru dipersyaratkan harus berasal dari mereka yang duduk sebagai anggota parlemen;
3. Doktrin pemisahan kekuasaan juga menentukan bahwa masing-masing organ tidak boleh turut campur atau melakukan intervensi terhadap kegiatan organ yang lain. Dengan demikian independensi masing-masing cabang-cabang kekuasaan dapat terjamin dengan sebaik-baiknya.
4. Dalam doktrin pemisahan kekuasaan, yang sangat krusial adalah adanya check and balances, dimana setiap cabang kekuasaan mengendalikan dan mengimbangi kekuatan cabang-cabang kekuasaan yang lain agar tidak terjani tyrani kekuasaan; dan
5. Adalah prinsip koordinasi dan kesederajatan, yaitu semua organ atau lembaga tinggi negara yang menjalankan fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif mempunyai kedudukan yang sederajat dan mempunyai hubungan yang bersifat koordinatif satu sama lain. [15]

Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak ini mempunyai sedikitnya empat segi, yaitu Pertama, pengangkatan terhadap pejabat lembaga peradilan yang tidak bersifat politik; Kedua, masa jabatan dan gaji yang terjamin; Ketiga, tidak ada intenvensi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif terhadap proses peradilan dan pengadilan; Keempat, adanya otonomi secara administratif, dan anggaran belanja. Keempat hal tersebut menjadi semacam tonggak yang dapat dijadikan parameter kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Pemisahan kekuasaan erat kaitannya dengan konepsi lembaga negara, oleh karenanya, membahas tentang pemisahan kekuasaan akan terasa kering manakala tidak dikuti oleh pembahasan tentang lembaga negara. Menyadari hal itu, maka penulis merasa perlu untuk mengupas tentang “lembaga negara” dalam bagian ini. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh gambaran secara komprehensif.
Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa belanda biasa disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga negara, badan negara, atau disebut juga organ negara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 1997, kata “lembaga” diartikan sebagai (i) asal mula atau bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk asli (rupa, wujud); (iii) acuan,ikatan; (iv) badan atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan usaha; dan (v) pola prilaku yang mapan yang terdiri dari interaksi sosial yang berstruktur.[16]
Dalam Kamus Hukum Belanda Indonesia,[17] kata staatsorgaan diterjemahkan sebagai alat perlengkapan negara, oleh karena itu istilah lembaga negara, organ negara, badan negara, dan alat perlengkapan negara sering dipertukarkan satu sama lain. Untuk Indonesia hampir semua istilah-istilah tersebut digunakan, misalnya dalam Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun 1949 menggunakan istilah “alat perlengkapan negara”, sedangkan UUD 1945 setelah perubahan keempat (Tahun 2002), melanjutkan kebiasaan MPR sebelum masa reformasi dengan tidak konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara, organ negara, dan badan negara.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara ini dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Untuk memahami pengertian organ atau lembaga negara secara lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the state Organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Ia menjelaskan bahwa siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ negara. Dalam konsepsi Hans Kelsen organ negara tidak selalu berbentuk organik, karena secara luas organ negara setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan atau bersifat menjalankan norma (norm applying).[18]
Hemat penulis, dari terminologi yang disampaikan oleh Hans Kelsen tentang organ negara dapat disimpulkan bahwa organ negara dibedakan menjadi dua yakni pertama, organ negara dalam arti luas yang mencakup semua individu yang mempunyai fungsi menciptakan dan menjalankan aturan. Dalam konteks ini seorang hakim yang mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan hukuman di Lembaga Pemasyarakatan adalah juga merupakan organ negara; Kedua, organ negara dalam arti sempit, yaitu pengertan organ dalam arti materiil. Individu dikakatan sebagai organ negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum tertentu. Dengan kata lain organ negara dalam arti sempit dapat dikaitkan dengan jabatan atau pejabat.
Penataan ulang struktur ketatanegaraan Indonesia yang terus berlangsung sampai saat ini tidak serta-merta berjalan dengan baik tanpa komplikasi ketatanegaraan. Dalam batas tertentu, memang, penataan itu dapat dikatakan relatif berhasil meskipun dengan catatan baru sebatas pembentukan lembaga dan bekerja sesuai dengan kewenangan yang diberikan, tapi tidak termasuk efektivitas kerja dan implikasinya yang signifikan terhadap kehidupan ketatanegaraan yang lebih bertanggung jawab.
Hal ini, misalnya, dapat dilihat dari Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang telah menghasilkan lembaga-lembaga baru semacam Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Khusus untuk lembaga-lembaga negara baru yang memiliki kewenangan yang bersumber langsung dari konstitusi (con­stitutionally based power institutions) ini, dapat dikatakan relatif tidak menimbulkan komplikasi ketatanegaraan serius terkait dengan kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan. Meski jika ditinjau dari sudut kewenangannya masih mengambang, sangat terbatas, dan jauh dari ideal.
Perubahan konfigurasi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi yang diterapkan dalam sebuah negara mutlak menuntut adanya pergeseran pengelolaan kekuasaan dari yang semula bersifat personal menjadi bersifat impersonal. Pada saat bersamaan, hal ini mengakibatkan pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap sebagai doktrin mapan, mengalami koreksi dan dirasakan tidak cukup lagi sekadar mengklasifikasi­kannya menjadi kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang­-undang, dan kekuasaan kehakiman. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia yang telah memulai penataan konfigurasi politiknya menjadi lebih sesuai dengan nilai-nilai demokrasi setelah bergulirnya gerakan reformasi pada 1998. Di negara-negara yang telah memiliki struktur ketatanegaraan yang dianggap mapan pun, tidak kebal dari gagasan untuk melakukan koreksi pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap telah mencapai titik ideal.
Eksperimentasi kelembagaan juga dilakukan oleh bangsa Indonesia terutama di masa transisi demokrasi setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru seiring berhentinya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998 yang lalu. Pasca peristiwa itu, dilakukan berbagai agenda reformasi yang salah satunya adalah perubahan UUD 1945. dalam perubahan konstitusi inilah terjadi pembentukan dan pembaharuan lembaga-lembaga negara.
Jika kita mencermati UUD 1945 pasca perubahan, dapat dikatakan terdapat 34 lembaga negara. Dari 34 lembaga negara tersebut, ada 28 lembaga negara yang kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun secara rinci dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ke-34 organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi yaitu dari segi fungsinya dan dari segi hirarkinya. Hirarki antar lembaga negara menjadi penting untuk ditentukan karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap yang menduduki jabatan dalam lembaga tersebut. Mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah perlu dipastikan untuk menentukan tata tempat duduk dalam upacara dan besarnya tunjangan jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu ada dua kriteria yang dapat dipakai, yaitu (i) kriteria hirarki bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya, (ii) kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara.[19]
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dapat ditentukan bahwa dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat penunjang atau sekunder (auxiliary). Sedangkan dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga negara itu dapat dibedakan kedalam tiga lapis. Organ lapis pertama disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut lembaga negara saja, sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah.
Kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur kelembagaan negara sangat penting, karena secara struktural kedudukannya diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa meskipun secara struktural kedudukannya sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, tetapi secara fungsional, peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial, meskipun fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman, akan tetapi tidak menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, karena Komisi Yudisial bukan penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of ethics) .[20]
Dari uraian di atas jelas kiranya, bahwa kedudukan Komisi Yudisial ditentukan oleh UUD 1945 sebagai lembaga negara yang bersifat mandiri, karena Komisi Yudisial ini dianggap sangat penting dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan prilaku hakim, bahkan lebih jauh, keberadaan Komisi Yudisial ini diharapkan dapat menjadi simbol mengenai pentingnya infra struktur sistem etika perilaku (good conduct) dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
.
2.1.1. Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
Indonesia sebagai suatu negara yang mengukuhkan dirinya ”negara hukum” dalam konstitusinya, maka konsekwensi logis yang harus diterima Indonesia adalah melengkapi dirinya dengan sejumlah perangkat yang berfungsi untuk menjaga keberadaannya sebagai negara hukum. Salah satu lembaga yang mempunyai peranan yang sangat urgent dan mutlak diperlukan dalam struktur ketatanegaraan modern dan mewadahi salah satu komponen dalam negara hukum adalah kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri dan bertanggungjawab. Kekuasaan kehakiman berfungsi sebagai lembaga pengontrol terhadap pelaksanaan hukum dalam negara hukum. Sedemikian pentingnya lembaga kontrol terhadap berlakunya hukum ini sehingga mutlak diperlukan suatu lembaga kekuasaan kehakiman yang tidak hanya sekedar ada, memiliki fasilitas yang diperlukan, ataupun mampu menyelesaikan perkara yang muncul, tetapi lebih dari itu juga harus bersyaratkan sebuah predikat yang bersih dan berwibawa dalam rangka mewujudkan tegaknya hukum dan keadilan.
Intervensi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman pada demokrasi terpimpin pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tampak dalam dua Undang-undang yang mengatur tentang fungsi dan kedudukan kekuasaan kehakiman. Kedua Undang-undang tersebut, yakni Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 19 Undang-undang nomor 19 Tahun 1964 menegaskan:
”Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa, atau kepentingan masyarakat mendesak, Presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan.

Selanjutnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 1963 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Pengadilan Umum dan Mahkamah Agung menyatakan bahwa:
”Hakim dalam menjalankan fungsinya harus tunduk pada visi politik pemerintah”

Berkuasanya Orde Baru dengan semboyan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen telah melakukan beberapa langkah penting untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri sesuai dengan amanat pasal 24 dan pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman merupakan salah satu produk dibidang kekuasaan kehakiman yang lahir pada Zaman Orde Baru. Pasal 1 dari bab yang mengatur tentang Ketentuan Umum Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 menyatakan:
”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.[21]

Disamping intervensi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman sebagaimana diungkapkan di atas, kekuasaan kehakiman didalam melaksanakan tugas yudisialnya hingga saat ini masih dijangkiti oleh ”penyakit akut” yakni merajalelanya mafia peradilan.
Pola-pola korupsi dalam pengadilan pidana sudah mulai berlangsung pada tahap memasukkan perkara. Agar perkara mendapat nomor awal harus memberikan pelicin bagi registrasi. Sementara pada tahap putusan dinegoisasi sehingga vonis dapat diatur melalui jaksa atau hakim. Sementara di Mahkamah Agung pola kerja mafia peradilan sudah berlangsung sejak pendaftaran perkara sampai pada putusan. Pada tahapan putusan berlangsung dalam bentuk sekjen atau asisten hakim agung menghubungi salah satu pihak yang bersengketa dan menawarkan kepada mereka suatu putusan yang dapat memenangkan perkara mereka.[22]
Berbagai persoalan yang membelit eksistensi kekuasaan kehakiman sebagaimana di paparkan di atas menjadi salah satu agenda penting reformasi. Dengan demikian pada perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pasal-pasal yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, paling tidak terdapat empat perubahan penting dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen. Pertama, jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka ditegaskan dalam batang tubuh UUD 1945, yang sebelumnya hanya disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945. Kedua, Mahkamah Agung dan badan kehakiman yang lain tidak lagi menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman karena ada Mahkamah Konstitusi yang berkedudukan setingkat dengan Mahkamah Agung dan berfungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Ketiga, adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan keluhuran, martabat, serta prilaku hakim. Keempat, adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan judicial review Undang-undang terhadap Undang-Undang dasar 1945, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, serta memutus pembubaran partai politik, dan memutus sengketa hasil pemilu.
Komisi Yudisial merupakan salah satu lembaga baru yang memang sengaja dibentuk untuk menangani urusan yang terkait dengan pengangkatan hakim agung serta menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, dan perilaku hakim.

2.1.2. Gagasan Pembentukan Komisi Yudisial di Indonesia
Setelah gagasan pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dan Dewan Kehormatan Hakim (DKH), disusul sebuah wacana baru yang kemudian dikenal dengan sebutan Komisi Yudisial, suatu istilah yang sebelumnya tidak dikenal. Penyebutan istilah Komisi Yudisial secara eksplisit dimulai pada saat ditetapkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004. program pemberdayaan lembaga peradilan dan penegak hukum lainnya menjadi perhatian Undang-undang ini. Kegiatan pokok yang dilakukan antara lain pertama, meningkatkan pengawasan dalam proses peradilan secara transparan untuk memudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan terhadap sistem manajemen dan adiministrasi peradilan secara terpadu; kedua, menyusun sistem rekruitmen dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap proses rekruimen dan promosi dengan memegang asas kompetensi, transparansi , dan partisipasi baik bagi hakim maupu bagi aparat penegak hukum lainnya; ketiga, meningkatkan kesejahteraan hakim dan aparat penegak hukum lainnya seperti Jaksa, polisi dan penyidik Pegawai Negeri Sipil melaui peningkatan gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya sampai pada tingkat pemenuhan kebutuhan hidup yang disesuaikan dengan tugas, wewenang, dan tanggungjawab kerja yang diemban; dan keempat, membentuk Komisi Yudisial atau dewan Kehormatan Hakim untuk melakukan fungsi pengawasan. Komisi Yudisial atau dewan kehormatan hakim bersifat independen dan susunan keanggotaannya dipilih dari orang-orang yang memiliki integritas yang teruji.
Salah satu hal yang mendorong timbulnya pemikiran pentingnya Komisi Yudisial adalah kegagalan sistem yang ada sebelumnya untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih baik. Sebagaimana diketahui, untuk memperbaiki kondisi peradilan, dipilihlah cara mengalihkan kewenangan pembinaan aspek administrasi, keuangan, dan organisasi dari Departemen Kehakiman dan HAM kepada Mahkamah Agung. Cara ini dianggap tidak mampu menyelesaikan persoalan tersebut, bahkan pada tingkat tertentu bisa berakibat buruk. Ada beberapa hal yang mendukung kesimpulan ini, yaitu:
a. Penyatuan atap dengan tanpa mengubah sistem rekruitmen, mutasi, promosi, dan pengawasan hakim akan berpotensi untuk melakukan monopoli kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung;
b. Mahkamah Agung tidak akan mampu menjalankan tugasnya dan hanya akan mengulang kelemahan yang selama ini dilakukan oleh Departemen Kehakiman. Hal ini didasari pada pertimbangan bahwa selama ini Mahkamah Agung dianggap tidak mampu menjalankan tugas dan wewenangnya, seperti rekruimen hakim, mutasi, promosi termasuk pengangkatan ketua dan wakil ketua pengadilan; dan
c. Mahkamah Agung mempunyai permasalahan organisasional yang sampai sekarang belum dapat diperbaiki, misalnya kelemahan manajemen organisasi dan perkara, integritas personal dan lain sebagainya.
Dengan demikian adanya kekhawatiran bahwa penyatuan atap akan mengakibatkan monopoli kekuasaan kehakiman mempunyai pijakan argumentasi yang kuat. Padahal tujuan utama penyatuan atap sebenarnya adalah untuk membuat lembaga peradilan menjadi lebih independen dari campur tangan politik. Artinya hipotesis yang muncul disini adalah penyatuan atap akan menjadikan pengadilan lebih independen, karena tidak lagi berkaitan dengan kekuasaan eksekutif.
Setelah melihat rangkaian gagasan Komisi Yudisial tersebut, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa gagasan munculnya Komisi Yudisial berangkat dari beberapa keinginan sebagai berikut:
a. Meningkatkan pengawasan proses peradilan secara transparan;
b. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan sistem manajemen dan administrasi peradilan secara terpadu;
c. Menyusun sisem rekruitmen dan promosi yang lebih ketat;
d. Mengembangkan pengawasan terhadap proses rekruimen dan promosi;
e. Meningkatkan kesejahteraan hakim melalui peningkatan gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya; dan
f. Membentuk Komisi Yudisial atau Dewan Kehormatan Hakim untuk melakukan fungsi pengawasan.

2.2. Teori Kewenangan
Dalam ilmu politik, kekuasaan sering dipergunakan untuk menganalisis kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam ilmu hukum, kekuasaan lebih tepat dipergunakan untuk membagi ketiga kekuasaan itu dan kekuasaan lebih tepat dipergunakan untuk legislatif, Iewenangan untuk eksekutif, dan kompetensi untuk yudikatif.
Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa "ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (the ruler and the ruled).[23] Berdasarkan pengertian ini dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc Van Maarseven disebut sebagai "blote macht.[24]
Kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut se­bagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh negara[25]. Dalam hukum tata negara, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan se­bagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan mempunyai makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh legislatif, ekse­kutif, dan yudikatif adalah kekuasaan formal.
Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering di­temukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan, sering kewenangan disamakan juga dengan wewenang, otomatis wewenang disamakan pula dengan kekuasaan. Akan tetapi, yang jelas, ilmu hukum, ilmu politik, dan ilmu pemerintahan titik kajiannya adalah negara.
Kekuasaan menurut ilmu politik merupakan suatu ilmu seni yang sifatnya abstrak yang berasal dari dunia Barat (Eropa dan Amerika Serikat) dan oleh dunia Timur (termasuk Indonesia) diberi makna konkret yang berwujud, misalnya keris, jumlah pasukan. Dan kekuasaan itu merupakan unsur esensial dari suatu negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur lainnya, yaitu:
a. hukum;
b. kewenangan (wewenang);
c. keadilan;
d. kejujuran;
e. kebijakbestarian; dan
f. kebajikan.
Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja me­layani warganya. Oleh karena itu, negara harus diberi kekuasaan. Ke­kuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah:
“Kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelornpok lain se­demikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau negara.”[26]

Robert M. Mac Iver melihat kekuasaan itu dari sumbernya. Kekuasaan dapat bersumber dari kekerasan fisik, kekayaan, dan kepercayaan.[27] Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subjek-kewajiban. Dengan demikian, lahirlah teori yang menyatakan bahwa negara merupakan subjek hukum buatan atau tidak asli atau yang disebut teori organ atau organis.[28] Dengan demikian, kekuasaan mem­punyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan ke­wenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari inkonstitusional, misalnya melalui kudeta ataupun perang. Sedangkan kewenangan jelas bersumber dari konstitusi.
Adapun istilah kewenangan sering disejajarkan begitu saja dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda sering disejajarkan dengan istilah "bevoegheid" dalam istilah hukum Belanda. Menurut Philipus M. Hadjon, jika dicermati istilah kewenangan ada sedikit perbedaan dengan istilah "bevoegheid". Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah "bevoegheid" digunakan, dalam konsep hukum publik maupun dalam konsep hukum privat. Dalam hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.[29]
Ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang. Penulis dapat membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dan wewenang (com, petence, bevoegdheid). "Kewenangan" adalah apa yang disebut "kekuasaan formal", kekuasaan yang berasal kekuasaan yang diberikan oleh Undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administratif. Karenanya, merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan "wewenang" hanya mengenai suatu "onderdeel" (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Kewenangan bidang kekuasaan kehakiman atau kekuasaan mengadili sebaiknya sebut kompetensi atau yurisdiksi walalupun dalam praktik perbedaannya tidak selalu dirasakan perlu.[30]
Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voeg­dheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat ke­putusan pemerintahan (besluit), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan pembentukan wewenang serta distribusi we­wenang utamanya ditetapkan dalam undang-undang dasar.
Menurut Harjono, membicarakan masalah wewenang, terlebih dahulu harus mengetahui apa beda antara fungsi dan tugas, baru kemudian membicarakan masalah apa yang dimaksud dengan wewenang serta kapan kata kewajiban lebih tepat untuk dipergunakan. Penggunaan kata­-kata tersebut tidaklah hanya didasarkan atas makna kata secara harfiah, tetapi juga perlu untuk dipertimbangkan kaitannya secara utuh antara yang satu dan yang lain.[31]
Fungsi, mempunyai makna yang lebih luas dibandingkan dengan tugas. Jika kata tugas akan digunakan, akan lebih tepat untuk menyebutkan aktivitas-aktivitas yang diperlukan supaya fungsi dapat terlaksana, sebab fungsi memerlukan banyak aktivitas agar dapat terlaksananya fungsi ter­sebut. Sebuah aktivitas perlu dilakukan oleh sebuah lembaga untuk men­dukung terlaksananya sebuah fungsi. Hubungan antara aktivitas dan ter­laksananya fungsi merupakan hubungan atas dasar "necessary". Artinya, sesuatu yang dibutuhkan adanya agar sesuatu yang diharapkan dapat terlaksana. Sebuah aktivitas dilakukan oleh sebuah lembaga sehingga hubungan antara lembaga dan aktivitas tersebut sangat erat dan dapat dikatakan tidak akan diperlukan lembaga tersebut kalau aktivitas tersebut tidak dibutuhkan.
Adapun aktivitas perlu diadakan agar fungsi dapat terealisasi dan lembaga yang melakukan aktivitas tersebut dikatakan mempunyai tugas. Aktivitas di samping mempunyai aspek ke dalam juga mempunyai aspek ke luar. Pelaksanaan sebuah tugas dapat mempunyai akibat kepada pihak di luar lembaga pelaksana tugas. Atas akibat ke luar yang dapat ditimbulkan oleh pelaksana tugas tersebut, lembaga yang melaksana tugas tersebut memerlukan dasar hukum agar pihak di luar tersebut terikat pula. Oleh karenanya, kepada lembaga tersebut, oleh hukum diberi wewenang.
Dengan diberikannya wewenang kepada lembaga tersebut, maka akan timbul akibat yang sifatnya kategorial ataupun eksklusivistis.[32] Kategorial artinya membedakan antara lembaga yang mempunyai wewenang dan lembaga yang tidak mempunyai wewenang. Sedangkan bersifat eksklusivistis, artinya menjadikan lembaga-lembaga yang tidak disebut sebagai tidak menjadi bagian dari lembaga yang diberi wewenang.
Sebagai konsekuensinya, maka atas seluruh akibat keluar yang ditimbul­kan oleh aktivitas serupa yang dilakukan oleh lembaga yang tidak diberi wewenang tidak mempunyai akibat hukum. Sifat kategorial-eksklusivistis berlaku secara horizontal, artinya menyangkut hubungan dengan lem­baga lain yang kedudukannya sederajat. Di samping itu, juga mempuriyai sifat subordinat yang bersifat vertikal, yaitu menumbuhkan kewajiban bagi mereka yang berada di bawah lembaga tersebut untuk tunduk pada lembaga yang diberi wewenang. Sedangkan kepada lembaga-lembaga pada tingkat lebih tinggi menimbulkan kewajiban untuk memberi peng­akuan atas akibat ke luar atas aktivitas lembaga yang diberi wewenang tersebut bahkan termasuk akibat yang mungkin timbul terhadap lembaga yang lebih tinggi tersebut.
Teori fungsi yang dikembangkan oleh Harjono, menurut Kunto Wibisono, merupakan rangkaian dari teori organ dalam kerangka onto­logi. Artinya, jika bekerjanya fungsi itu karena ada aktivitas-aktivitas, se­belum bekerjanya fungsi itu harus terlebih dahulu ada organ-organ yang tersistemik dalam suatu komponen yang saling bersinergi-oleh Abdoel Gani dan Hermien Hadiati Koeswadji disebut sebagai teori sistem. Komponen itulah yang merupakan elemen-elemen atau semacam molekul-molekul sebagai wujud untuk bekerjanya suatu fungsi. Berbicara masalah wewenang maka tentunya kita tidak dapat melepaskan diri dari konsepsi “negara hukum”, karena wewenang itu lahir untuk menopang tegaknya bangunan negara hukum.
2.2.1. Sumber Kewenangan
Seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur), berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintah berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang dari pemerintah berdasarkan perundang-undangan. Secara teoritis kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu, atribusi, delegasi, dan mandat.
Berkenaan dengan atribusi, delegasi, dan mandat ini, H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:
1. Attributie: toekenning van een besturrsbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-undang kepada organ pemerintahan); wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan).
2. Delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursor­gaan aan een ander (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan Iainnya).
3. Mandaat: een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens Item uitoe fenen door een ander (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya).[33]
Dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi ini terdapat syarat-syarat sebagai berikut:
1. Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang­-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;
3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;
4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;
5. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans membe­rikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
Dari uraian di atas, penulis dapat menarik benang merah bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Lembaga Negara dalam melakukan perbuatan nyata, mengadakan pengaturan, atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara ”atribusi”, ”delegasi” maupun ”mandat”. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD) atau ketentuan hukum tata negara. Pada kewenangan delegasi harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada orgn negara yang lain. Adapun mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang. Akan tetapi, pejabat yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dilihat dari sumber kewenangan tersebut di atas, maka Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang mendapatkan kewenangannya secara atribusi, karena kewenagan Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945.
2.3. Teori Pengawasan
Kata ”pengawasan” berasal dari kata ’awas”, yang berarti antara lain ”penjagaan”. Istilah pengawasan dikenal dalam ilmu manajemen dan ilmu administrasi, yaitu sebagai salah satu unsur dalam kegiatan pengelolaan. George R. Terry menggunakan istilah ”control” sebagaimana dikutip oleh Muchsan[34], artinya:
”Control is to determine what is accomplished, evaluate it, and apply corrective measures, if needed to ensure result in keeping with the plan”
(Pengawasan menentukan apa yang telah dicapai, mengevaluasi dan menerapkan tindakan korektif, jika perlu, memastikan hasil yang sesuai dengan rencana.
Sementara Newman[35] berpendapat bahwa “control is assurance that the performance conform to plan”. Ini berarti bahwa titik berat pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan suatu tugas dapat sesuai dengan rencana. Dengan demikian menurut Newman, pengawasan adalah suatu tindakan yang dilakukan selama proses suatu kegiatan sedang berjalan, bahkan setelah akhir proses kegiatan tersebut.
Berbeda dengan Newman, Muchsan[36] mengemukakan bahwa pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara defacto, sedangkan tujuan pengawasan hanya terbatas pada pencocokan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sedangkan Bagir Manan[37] memandang “kontrol” sebagai sebuah fungsi sekaligus hak, sehingga lazim disebut dengan fungsi kontrol atau hak kontrol. Kontrol mengandung dimensi pengawasan dan pengendalian. Pengawasan bertalian dengan arahan (directive).
Pengawasan (control), menurut Paulus Effendi Lotulung[38] , adalah upaya untuk menghindari terjadinya kekeliruan-kekeliruan, baik sengaja maupun tidak disengaja, sebagai usaha preventif, atau juga untuk memper­baikinya apabila sudah terjadi kekeliruan itu, sebagai usaha represif.
Dari berbagai pendapat tersebut di atas, maka penulis dapat menangkap makna dasar dari pengawasan adalah: (i) pengawasan ditujukan sebagai upaya pengelolalaan untuk mencapai hasil dari tujuan; (ii) adanya tolok ukur yang dipakai sebagai acuan keberhasilan; (iii) adanya kegiatan untuk mencocokkan hasil yang dicapai dengan tolok ukur yang ditetapkan; (iv) mencegah terjadinya kekeliruan dan menunjukkan cara dan tujuan yang benar; serta (v) adanya tindakan koreksi apabila hasil yang dicapai tidak sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan.
Secara umum fungi pengawasan adalah untuk membantu manajemen dalam tiga hal, yaitu (1) meningkatkan kinerja organisasi, (2) memberikan opini atas kinerja organisasi dan, (3) mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah-masalah pencapaian kinerja yang ada.
Ketiga hal tersebut di atas dilakukan dengan cara memberikan informasi yang dibutuhkan secara cepat dan memberikan tingkat keyakinan akan pencapaian rencana yang telah ditetapkan.
Berdasarkan uraian di atas, dalam konteks penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman , pengawasan dapat diartikan secara luas sebagai salah satu aktivitas fungsi manajemen untuk menemukan, menilai dan mengoreksi penyimpangan yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi berdasarkan standart yang sudah disepakati dalam hal ini Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian pengawasan akan memberikan nilai tambah bagi peningkatan kinerja para hakim dalam mewujudkan rasa keadilan.
Kegiatan pengawasan ditujukan semata-mata hanya untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, efektif dan berorientasi pada pencapaian visi dan misi organisasi. Dengan adanya pengawasan diharapkan mampu untuk (1) menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidak adilan, (2) mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidak adilan, (3) mendapatkan cara-cara yang lebih baik untuk mencapai tujuan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara efektif.
Apabila dihubungkan dengan pengawasan terhadap prilaku hakim, terlihat bahwa pengertian umum pengawasan ma­sih tetap relevan. Alasannya: Pertama, pada umumnya, sasaran pengawasan terhadap hakim adalah pemeliha­raan atau penjagaan agar negara hukum kesejahteraan dapat berjalan dengan baik; Kedua, tolok ukurnya adalah hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan dan tindakan hakim dalam bentuk hukum material maupun hukum formal (rechtma­tigheid), serta manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat (doelma­tigheid); Ketiga, ada pencocokan antara perbuatan dan tolok ukur yang telah ditetapkan; Keempat, jika terdapat tanda-­tanda akan terjadi penyimpangan terhadap tolok ukur terse­but dapat dilakukan tindakan pencegahan.
Dalam kerangka pengawasan ada begitu banyak lembaga yang melakukan pengawasan dan memfungsikan diri sebagai pengawas. Paulus Effendi Lotulung[39] memetakan macam-macam lembaga pengawasan yaitu:
1. Ditinjau dari kedudukan badan yang melaksanakan kontrol, dapat dibedakan atas:
a. Kontrol intern, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh organisasi struktural yang masih termasuk dalam lingkungan pemerintahan sendiri. Kontrol ini disebut built in control. Misalnya pengawasan pejabat atasan terhadap bawahannya atau pengawasan yang dilakukan oleh suatu tim verifikasi yang biasanya dibentuk secara insidental;
b. Kontrol ekstern, adalah pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara struktural berada diluar pemerintah dalam arti eksekutif.
2. Ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya, pengawasan dibedakan atas:
a. Kontrol apriori, adalah pengawasan yang dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan/ketetapan pemerintah atau peraturan lainnya, yang pembentukannya merupakan kewenangan pemerintah;
b. Kontrol a posteriori, adalah pengawasan yang baru akan terjadi setelah dikeluarkan keputusan/ketetapan pemerintah atau peraturan lainnya setelah terjadinya tindakan pemerintah.
3. Ditinjau dari obyek yang diawasi, maka suatu kontrol dapat dibagi menjadi:
a. Kontrol segi hukum, adalah kontrol untuk menilai segi-segi pertimbangan yang bersifat hukum dari tindakan pemerintah;
b. Kontrol dari segi kemanfaatan
Dengan demikian, pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial terhadap prilaku hakim bersifat eksternal yang bertujuan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim, agar prilaku hakim selalu menjunjung tinggi hukum, kebenaran, integritas, kode etik dan keadilan dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bertujuan untuk mendiskripsikan dan mengkaji asas-asas hukum, taraf sinkronisasi hukum, sistematika hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum yang relevan dengan masalah penelitian tesis ini.

3.2. Bahan Hukum
Terdapat tiga macam sumber hukum yang dijadikan sasaran penelitian untuk mendapatkan substansi bahan-bahan kajian yang diperlukan, yaitu:
1. Bahan Hukum Primer (primary resources) terdiri atas:
UUD 1945 (pasal 24 dan pasal 25);
UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4415);
UU No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4358);
UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316);
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 .
2. Bahan Hukum Sekunder (secondary resources): ialah literatur ilmu hukum dan literatur ilmiah lainnya yang relevan dengan masalah penelitian tesis ini;
3. Bahan Hukum Tarsier adalah bahan Hukum yang terdiri dari Kamus Hukum, Black Law Dictionary, Kamus Bahasa Indonesia.

3.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan dan dokumen hukum sebagai berikut:
a. Terhadap bahan hukum primer dilakukan dengan cara menginventarisasi, mempelajari, dan mencatat ke dalam kartu (card system) penelitian tentang asas-asas dan norma-norma hukum yang menjadi objek permasalahan ataupun yang dapat dijadikan alat analisis terhadap masalah penelitian; dan
b. Terhadap bahan-bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara menelusuri literatur-literatur Ilmu hukum pada perpustakaan Unibraw dan perguruan tinggi lainnya, penelusuran melalui internet, CD-Rom (IT), dan hasil penelitian hukum yang relevan dengan masalah penelitian. Objek penelitian difokuskan pada teori-teori, konsep-konsep, dan pendapat para pakar hukum yang dapat dijadikan alat analisis, kemudian mengutip atau mencatatnya kedalam kartu penelitian.
Langkah pokok penelitian bahan hukum primer dan sekunder dilakukan dengan cara menginventarisasi, mempelajari, menafsirkan, mencatat, mengklasifikasi, dan mengaplikasikan substansi asas, teori, konsep, prinsip, norma, dan istilah hukum yang dianggap relevan sebagai bahan acuan atau sarana analisis masalah dalam penulisan tesis ini.

3.4. Analisis Bahan Hukum
Untuk menganalisis masalah tesis yang diteliti dilakukan dengan empat pendekatan:
a. Pendekatan Peraturan perundang-­undangan (statute approach) untuk mendeskripsikan taraf sinkronisasi dan sistematika substansi UUD 1945 dengan UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;
b. Pendekatan Konseptual (conceptual approach), dengan menggunakan asas, teori, konsep, norma, untuk menjelaskan, kata "Hakim" yang ada dalam pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang diharapkan dapat membangun pemikiran konseptual alternatif bagi pemecahan masalah dari segi ilmu hukum;
c. Pendekatan Historis (historical approach), pendekatan ini dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lahirnya Komisi Yudisial di Indonesia;

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Pengaturan Kewenangan Komisi Yudisial
Dalam posisinya sebagai lembaga negara yang baru, perlu kiranya dalam tulisan ini dikemukakan juga mengenai kedudukan Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sebelum penulis lebih lanjut membahas tentang kewenangan Komisi Yudisial.
Mengenai kedudukan Komisi Yudisial dapat kita lihat dari ketentuan Pasal 1 Butir ke-1 Undang Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang menyatakan bahwa “Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Ketentuan ini menegaskan bahwa kedudukan Komisi Yudisial adalah sebagai lembaga negara yang keberadaannya bersifat konstitusional.
Berkaitan dengan itu, menurut Pasal 2 Undang-undang No. 22 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa “Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya”.
Dari ketentuan tersebut, maka Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang mandiri. Secara etimologis istilah ”mandiri” berarti menunjukkan kemapuan berdiri sendiri, tidak adanya campur tangan dari kekuasaan lain atau ketidak bergantungan suatu pihak kepada pihak lainnya yang dalam literatur juga disebut ”independen”. Independensi itu harus diberi makna (i) independensi terhadap subyek yang diawasi, yaitu para hakim, agar Komisi Yudisial dapat bekerja efektif tanpa diintervensi oleh pimpinan Mahkamah Agung; dan juga (ii) independensi dalam menjalankan tugasnya, sehingga Komisi Yudisial tidak boleh diintervensi atau membiarkan diri seakan dikontrol dan dikendalikan oleh lembaga-lembaga lain yang boleh jadi mempunyai kepentingan politik tertentu, seperti partai-partai politik tertentu, pengusaha, lembaga DPR, DPD, dan Presiden.
Mengenai independensi dari dan terhadap para hakim dan lembaga Mahkamah Agung, sangatlah penting, karena para hakimlah yang harus diawasi perilakunya oleh Komisi Yudisial. Dengan dijadikan sebagai external auditor pengawasan oleh Komisi Yudisial menjadi efektif, tidak seperti sebelumnya, dimana diantara sesama hakim justru terjadi hubungan saling membela dan melindungi yang menyebabkan pengawasan tidak efektif.
Mengenai independensi yang kedua, yaitu dari dan terhadap cabang-cabang kekuasaan lain di luar kekuasaan kehakiman Komisi Yudisial haruslah bersifat independen. Komisi Yudisial tidak boleh menjadikan dirinya alat politik bagi lembaga legislatif, eksekutif, ataupun kekuatan partai politik dan para pemilik modal untuk mempengaruhi kinerja cabang kekuasaan kehakiman yang merdeka. Roh hakim dan lembaga kekuasaan kehakiman terletak antara lain pada independensi dan imparsialitas.
Menurut Jimly Asshiddiqie[40] ada tiga pengertian independensi, yaitu:
1. Structural Independence; yaitu independensi kelembagaan dimana suatu struktur organisasi yang dapat digambarkan dalam bagan yang sama sekali terpisah dari organisasi lain;
2. Functional Independence; independensi yang dilihat dari segi jaminan pelaksanaan fungsi dan tidak ditekankan dari struktur kelembagaanya;
3. Finacial Independence; adalah independensi yang dilihat dari segi kemandiriannya menentukan anggaran dalam menjalankan fungsinya.
Melihat ketiga macam independensi tersebut, maka kedudukan Komisi Yudisial sangat penting, karena secara struktural kedudukannya diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi secara fungsional peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap kekuasaan kehakiman.
Walaupun Komisi Yudisial ditentukan sebagai lembaga negara yang independen, tidak berarti bahwa Komisi Yudisial tidak diharuskan bertanggungjawab oleh Undang-undang. Pasal 38 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menentukan:
(1) Komisi Yudisial bertanggungjawab kepada publik melalui DPR
(2) Pertanggungjawaban kepada publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
a. menerbitkan laporan tahunan; dan
b. membuka akses informasi secara lengkap dan akurat
3) laporan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf a setidaknya memuat hal sebagai berikut:
a. laporan penggunaan anggaran
b. data yang berkaitan dengan fungsi pengawasan; dan
c. data yang berkaitan dengan fungsi rekruitmen Hakim Agung.
4) Laporan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf a disampaikan pula kepada Presiden
5) Keuangan Komisi Yudisial diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan menurut ketentuan Undang-undang.
Dalam pasal 24B Undang-Undang dasar 1945 digunakan istilah ”wewenang” untuk menunjuk fungsi yang harus dilakukan oleh Komisi Yudisial. Wewenang diartikan sebagai hak-hak yang dimiliki seseorang atu suatu badan untuk menjalankan tugasnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa wewenang mengandung pengertian tugas dan hak. Menurut Bagir Manan[41], wewenang mengandung makna kekuasaan (macht) yang ada pada organ negara, sedangkan kata tugas dan hak melekat pada pejabat dari organ negara tersebut. Dalam konteks ini maka wewenang Komisi Yudisial adalah kekuasaan yang diberikan oleh Konstitusi yang melekat kepada organ negara yang bernama” Komisi Yudisial”. Sedangkan tugas lebih berorientasi kepada pejabat-pejabat atau anggota Komisi Yudisial. Artinya tugas dari anggota Komisi Yudisial bersumber dari wewenang Komisi Yudisial .
Mengenai wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial Republik Indonesia dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 24B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diimplementasikan dalam Pasal 13 Undang Undang No. 22 Tahun 2004. Pada pokoknya wewenang dari Komisi Yudisial adalah:
1. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden; dan
2. Mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Apabila kita memperhatikan, dapat diketahui bahwa rumusan ketentuan mengenai kewenangan Komisi Yudisial dalam Pasal 13 UU No.22 Tahun 2004 sangat berbeda dari rumusan pasal 24B UUD 1945. pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut berbunyi,”Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.
Kedua versi ketentuan tersebut, yaitu UUD 1945 dan versi UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, memang jelas satu sama lain berbeda. Pertama, dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 dikatakan bahwa ”Komisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)”. Padahal dalam pasal 24B UUD 1945 dinyatakan”Komisi Yudisial bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung.
Dari segi yang pertama, pasal 24B ayat (1) UUD 1945 memang menentukan bahwa Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Dalam ketentuan konstitusi, tidak dibatasi dan juga tidak ditentukan bagaimana dan kemana usul tersebut disampaikan oleh Komisi Yudisial. Misalnya, perkataan ”mengusulkan pengangkatan Hakim Agung” dapat dimaknai sebagai kegiatan mengusulkan kepada Presiden untuk menerbitkan Keputusan Presiden untuk pengangkatan Hakim Agung yang telah diseleksi menurut prosedur yang berlaku. Artinya tindakan pengangkatan yang dimaksudkan disitu dapat diartikan sebagai tindakan administratif berupa penetapan Keputusan Presiden yang bersifat beschikking belaka.
Akan tetapi, Pasal 13 UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial justru membatasi pengusulan itu harus dilakukan dari Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, dalam konteks ini fungsi Komisi Yudisial menjadi supporting system terhadap kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat untuk memilih calon Hakim Agung. Jika pengusulan itu diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR, berarti yang diajukan itu bukanlah calon Hakim Agung, melainkan baru bakal calon yang akan dipilih oleh DPR untuk menjadi calon Hakim Agung.
Disamping itu, hemat penulis pengusulan yang diajukan kepada DPR itu, bukanlah pengusulan untuk pengangkatan seperti yang dimaksud oleh pasal 24B UUD 1945 ayat (1), melainkan hanya pengusulan untuk pemilihan bakal calon Hakim Agung. Oleh karena itu, jika rumusan pasal 13 UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dilakukan penafsiran secara gramatikal, maka ketentuan pasal 13 UU No 22 Tahun 2004 tersebut justru bertentangan (tegen gesteld) dengan ketentuan pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Akan tetapi, jika menggunakan penafsiran historis yakni metode penafsiran yang melihat dari aspek sejarah lahirnya UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, maka ketentuan pasal 13 UU No 22 Tahun 2004 tersebut tidak bertentangan dengan pasal 24B ayat (1) UUD 1945, dengan argumentasi bahwa UU No 22 Tahun 2004 ini disusun setelah mendapatkan pembahasan bersama dan menghasilkan persetujuan bersama antara DPR dengan Pemerintah. Pilihan politik yang diambil oleh DPR bersama pemerintah adalah seperti yang telah dirumuskan dalam pasal 13 UU No 22 Tahun 2004 ini. Artinya pemerintah bersama DPR telah sama-sama berbagi pendapat bahwa pengusulan untuk pengangkatan itu dianggap dapat dimaknai atau dianggap identik dengan tindakan pengusulan untuk pemilihan oleh DPR.
Dari segi kewenangan yang kedua, pasal 24B UUD 1945 menentukan ”Komisi Yudisial mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim”. Dari ketentuan ini dapat dielaborasi menjadi (i) menjaga kehormatan hakim; (ii) menjaga keluhuran martabat hakim; (iii) menjaga perilaku hakim; (iv) menegakkan kehormatan hakim; (v) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (vi) menegakkan perilaku hakim. Dalam kata ”menjaga” terkandung pengertian tindakan yang bersifat preventif, sedangkan dalam kata ”menegakkan” terdapat pengertian tindakan yang bersifat korektif. Karena itu, tiga kewenangan yang pertama bersifat preventif atau pencegahan, sedangkan tiga yang kedua bersifat korektif.
Namun demikian dalam rumusan pasal 13 UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial huruf b, rumusan salah satu kewenangan Komisi Yudisial tersebut diubah menjadi “menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim” . jika dielaborasi cakupannya menjadi jauh lebih sempit, yaitu hanya (i) menegakkan kehormatan hakim; (ii) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (iii) menjaga perilaku hakim. Dari sini dapat dikatakan bahwa pembentuk Undang-undang dengan sengaja telah membatasi pengertian yang terkandung dalam pasal 24B UUD 1945. Hal ini dapat disadari bahwa pembentuk Undang-undang telah mengabaikan asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya asas”kejelasan rumusan” yang mensyaratkan bahwa setiap peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas, dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Perbedaan Rumusan
Pasal 13 UU No 22 Tahun 2004 dengan Pasal 24B UUD 1945

No
Pasal 24B UUD 1945
Pasal 13 UU No 22 Tahun 2004

1

Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim


· Komisi Yudisial mempunyai wewenang: mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR
· Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

4.1.1. Wewenang Pengangkatan Hakim
Semua aparat penegak hukum berkewajiban mewujudkan cita hukum secara utuh, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Diantara penegak hukum, posisi hakim adalah istimewa. Hakim adalah konkretisasi hukum dan keadilan yang abstrak bahkan ada yang menggambarkan hakim sebagai wakil tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Hakim adalah aktor utama dalam penegakan hukum (Law enforcement) di Pengadilan yang mempunyai peran lebih apabila dibandingkan dengan Jaksa, Pengacara, dan panitera. Pada saat ditegakkan hukum mulai memasuki wilayah das sein (yang senyatanya) dan meninggalkan wilayah das sollen (yang seharusnya). Hukum tidak lagi barisan pasal-pasal mati yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan, tetapi sudah dihidupkan oleh living interpretator yang bernama hakim.
Hakim yang akan memutus perkara di Pengadilan harus mengkombinasikan tiga hal secara simultan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan. Kepastian hukum dalam penegakan hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan seseorang terhadap orang lain, karena hukum dianggap sebagai rujukan terakhir untuk mengatasi konflik yang terjadi dalam masyarakat.
Unsur kemanfaatan dalam penegakan hukum bermakna filosofi yang sangat mendalam, karena hukum ditujukan untuk manusia, maka hukum harus memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi manusia. Sedangkan unsur keadilan dalam penegakan hukum merupakan sesuatu yang seharusnya paling genuine dan hakiki dari hukum. Aliran etis dalam hukum berpendapat bahwa hukum dibuat dengan tujuan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Berikut adalah beberapa tugas hakim yang telah digariskan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pertama, tugas dalam bidang peradilan (teknis yudisial), diantaranya:
a. Menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya;
b. Mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang;
c. Membantu pencri keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan;
d. Tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak/kurang jelas, tetapi wajib memeriksa dan mengadilinya;
Kedua, tugas yuridis, yaitu memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat-nasihat tentang soal-soal hukum kepada lembaga negara lainnya apabila diminta; Ketiga, tugas akademis ilmiah dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Hakim yang ideal seperti digambarkan di atas, tentu saja tidak lahir dari sistem yang buruk, tetapi lahir dari sebuah sistem yang memadai bagi terciptanya kondisi ideal tersebut. Odette Buitendam meyakini bahwa hakim yang baik itu tidak dilahirkan, tetapi diciptakan melalui suatu sistem rekruitmen, seleksi, dan pelatihan yang baik.[42] Rekruitmen dan sistem seleksi yang baik dapat dimanifestasikan dengan mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, obyektivitas, dan lain sebagainya.
Berbicara tentang sistem seleksi dan rekruitmen hakim jika dikaitkan dengan sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara, secara umum paling tidak ada dua model besar. Di negara yang menganut sistem Common Law, biasanya rekruitmen hakim bersifat terbuka. Hakim di Pengadilan pertama direkrut dari orang yang pernah menempuh karier sebagai praktisi hukum, legislatif, eksekutif, akademisi hukum atu kalangan hukum lain. Sebaliknya di negara yang menganut tradisi Civil Law, rekruitmen hakim pada tingkat pertama diambil dari mahasiswa yang baru lulus dari fakultas hukum.
Proses pengangkatan Hakim Agung memasuki babak baru sejak terbentuknya Komisi Yudisial. Atribusi kewenangan untuk rekruitmen Hakim Agung kepada Komisi Yudisial merupakan langkah progresif dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Atribusi kewenangan ini merupakan langkah koreksi terhadap sistem perekrutan Hakim Agung pada masa-masa sebelumnya. Dengan demikian, kewenangan Komisi Yudisial untuk melakukan rekruitmen merupakan harapan perbaikan bagi sistem kekuasaan kehakiman secara menyeluruh, sehingga Komisi Yudisial harus benar-benar dapat mengemban amanat konstitusi ini serta harapan masyarakat Indonesia.
Sebagai catatan, bahwa proses rekruitmen Hakim Agung pada masa berlakunya UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung adalah kewenangan Presiden untuk memilih Hakim Agung berdasarkan daftar nama yang diusulkan oleh DPR. Dalam mengusulkan nama calon ke Presiden, DPR wajib mendengarkan pendapat Mahkamah Agung dan Pemerintah.
Proses rekruitmen hakim yang dilakukan pada masa Orde Baru berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 memperlihatkan beberapa kelemahan, diantaranya:
c. Tidak ada parameter yang obyektif untuk mengukur kualitas dan integritas calon Hakim Agung;
d. Adanya indikasi praktek dropping nama, dimana Hakim Agung akan memberikan usulan nama kepada Mahkamah Agung dengan harapan Ketua Mahkamah Agung akan memberikan perhatian kepada kandidat dan memasukkan namanya dalam daftar; dan
e. Adanya indikasi jaringan, pertemanan, hubungan keluarga, dan sebagainya yang menyebabkan pemilihan tidak dilakukan secara obyektif.[43]
Pasca tumbangnya Orde Baru, seleksi dan Rekruitmen Hakim Agung yang sebelumnya didominasi oleh Pemerintah (DEPKEH) dan Mahkamah Agung digeser oleh dominasi peran DPR dengan menggunakan mekanisme ’fit and proper test”.
Walaupun sudah dilakukan ’fit and proper test”, oleh DPR, ternyata juga menyimpan banyak kelemahan mendasar. Berdasarkan pantauan yang dilakukan oleh LeIP dan Koalisi NGO mencatat beberapa distorsi[44]:
a. Kurang transparan dan akuntabel, dalam proses rekruitmen Hakim Agung terutama pada tahap klarifikasi dilakukan secara tertutup. Pada awalnya ada 84 bakal calon yang diusulkan oleh pemerintah dan masyarakat. Setelah melalui tahap klarifikasi, jumlah bakal calon tinggal 46 orang. Tidak ada penjelasan secara resmi yang terbuka dan jelas mengapa bakal calon lainnya yang berjumlah 38 orang tidak lolos dalam tahap klarifikasi;
b. Permainan uang dan Politik Dagang Sapi, proses fit and proper test tidak terlepas dari praktek permainan uang dan politik dagang sapi. Ada dugaan bahwa bakal calon Hakim Agung, Ketua, dan Wakil Ketua Mahkamah Agung yang memberikan sejumlah uang kepada satu atau lebih anggota DPR untuk memuluskan pemilihannya;
c. Kurang maksimalnya pelibatan masyarakat, dengan dukungan pers yang bebas plus beberapa anggota DPR, masyarakat dapat memperoleh informasi tentang fit and proper test dan masyarakat cukup aktif memberikan pengaduan kepada DPR mengenai track record bakal calon. Hanya sayangnya tidak ada satupun laporan masyarakat yang ditelusuri dan diklarifikasi lebih jauh oleh anggota DPR kepada pelapor atau pihak-pihak lain yang berkompeten;
d. Parameter kurang obyektif, parameter penilaian tidak diuji terlebih dahulu oleh DPR agar lebih obyektif;
e. Kompetensi yang lemah, untuk dapat menguji dengan baik, dibutuhkan anggota-anggota DPR yang menguasai permasalahan yang akan diuji, kritis, serta telah melakukan persiapan-persiapan yang dibutuhkan.
Untuk menutupi beberapa kelemahan sistem seleksi dan rekruitmen Hakim Agung yang berlangsung selama ini, maka diakomodasinya keberadaan Komisi Yudisial dalam Pasal 24B UUD 1945 dan UU No 22 Tahun 2004 dengan kewenangan mengusulkan Hakim Agung adalah sebuah langkah progresif untuk menghasilkan Hakim Agung guna menegakkan hukum dan keadilan.

4.1.1.1. Mekanisme Perekrutan Hakim Agung Oleh Komisi Yudisial
Mekanisme pengusulan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR merupakan salah satu wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial. Untuk itu dalam melaksanakan wewenangnya Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pendaftaran calon Hakim Agung, seleksi, menetapkan dan mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Di dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 jelas diatur bahwa yang dapat mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial antara lain: Mahkamah Agung; Pemerintah; dan Masyarakat. Dari ketentuan tersebut dapat kita simpulkan bahwa calon Hakim Agung dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: Karir; dan Non karir.
Komisi Yudisial dalam melaksanakan tugas tersebut diatas, paling lama 6 (enam) bulan sejak menerima pemberitahuan dari Mahkamah Agung mengenai lowongan Hakim Agung. Komisi Yudisial hanya mempunyai waktu 15 (lima belas) hari semenjak menerima pemberitahuan mengenai lowongan Hakim Agung harus mengumumkan pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung. Pengumuman pendaftaran tersebut dilakukan 15 (lima belas) hari berturut-turut. Sebaliknya Mahkamah Agung, Pemerintah dan masyarakat dapat mengajukan calon Hakim Agung dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas hari), sejak pengumuman pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung.
Setelah 15 (lima belas hari) berakhirnya masa pengajuan calon Hakim Agung, Komisi Yudisial melakukan seleksi persyaratan administrasi calon Hakim Agung. Paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari, Komisi Yudisial sudah harus mengumumkan daftar calon yang memenuhi persyaratan administrasi. Kemudian masyarakat diberikan hak seluas-luasnya untuk memberikan informasi atau pendapatnya dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diumumkanya daftar nama calon Hakim Agung yang memenuhi persyaratan administrasi. Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari semenjak informasi atau pendapat diterima dari masyarakat luas berakhir, Komisi Yudisial melakukan penelitian tentang kesahian informasi tersebut.
Proses penseleksian terhadap calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi difokuskan kepada kualitas, dan kepribadian calon berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Disamping itu calon Hakim Agung wajib membuat/menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan. Karya ilmiah tersebut sudah diterima Komisi Yudisial dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum seleksi dilaksanakan. Seleksi dilaksanakan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari. Kemudian dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak seleksi berakhir, Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama calon Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk setiap 1 (satu) lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.
Namun demikian, hemat penulis didalam kewenangan Komisi Yudisial untuk melakuakan rekruitmen calon Hakim Agung tersebut terdapat beberapa problematika yuridis didalamnya, baik dari segi penormaannya, penafsirannya,maupun pelaksanaan kewenangan tersebut.
Pertama, berkaitan dengan perekrutan Hakim Agung oleh Komisi Yudisial adalah apakah Komisi Yudisial berwenang untuk mengajukan nama calon Hakim Agung yang tidak mengajukan lamaran atau tidak mengikuti proses rekruitmen tersebut?. Hal ini bisa dimungkinkan karena justru orang yang memenuhi kapabelitas dan integritas malah tidak ikut mendaftar sebagai calon Hakim Agung, padahal negara membutuhkan tenaga dan pikirannya untuk mengisi jabatan Hakim Agung tersebut.
Kedua, adalah bagaimana jika presiden tidak melakukan pengesahan terhadap calon Hakim Agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan telah mendapatkan persetujuan DPR. Kemungkinan ini bisa terjadi, sebagaimana suatu rancangan Undang-undang yang telah mendapat persetujuan DPR akan tetapi Presiden tidak mengesahkan rancangan Undang-undang tersebut, hal ini terjadi pada beberapa Undang-undang pada masa Pemerintahan Megawati Soekarno Putri. Berbeda halnya ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak melakukan penetapan sampai dengan jangka waktu tiga puluh hari sejak diterimanya nama calon hakim, maka Presiden berwenang mengangkat Hakim Agung dari calon yang diajukan Komisi Yudisial.
Ketiga, adalah bagaimana jika calon Hakim Agung yang diusulkan Komisi Yudisial dan telah mendapat persetujuan DPR serta telah mendapat pengesahan dari Presiden, akan tetapi ditolak oleh Mahkamah Agung sebagai lembaga tempat bekerjanya para calon hakim tersebut. Hal ini bisa saja terjadi, mengingat antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung sampai saat ini masih terjadi berbagai perbedaan baik mengenai visi, misi, maupun aksi dari Komisi Yudisial tersebut. Persolan-persolan tersebut di atas mengindikasikan bahwa dalam penyusunan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial pihak legislatif dan Pemerintah kurang mengindahkan asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dilihat dari sudut teori kewenangan, maka setiap kewenangan yang diberikan harus mempunyai kekuatan mengikat, oleh karenanya kewenangan juga mempunyai akibat hukum. Kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial tidak mempunyai kekuatan mengikat, karena sifatnya hanya mengusulkan pengangkatan calon Hakim Agung dan tidak mempunyai akibat hukum karena jika calon yang diusulkan tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan tidak mendapat Pengesahan dari Presiden, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat dulakukan oleh Komisi Yudisial. Dalam hubungan ini kewenangan yang bersifat penuh ada pada DPR yaitu memberikan persetujuan dan pada Presiden yaitu memberikan penetapan, sedangkan kewenangan yang ada pada Komisi Yudisial adalah kewenangan yang bersifat terbatas dan tidak penuh.

4.2. Gambaran Umum Pengawasan Perilaku Hakim
Masyarakat seharusnya menempatkan hakim pada posisi yang terhormat dan agung. Hakim dipandang sebagai manusia yang menjadi tempat bergantungnya harapan untuk memutus perkara secara adil. Hakim adalah penjaga benteng keadilan yang paling strategis. Dalam perspektif agama, al-Hakim adalah salah satu nama Tuhan, yang berarti sang Maha Bijaksana, sang Maha Pemutus perkara dengan adil. Nama yang luhur itu disandangkan kepada salah satu profesi penegak hukum yang secara kodrat kemanusiaan adalah relatif dan terbatas, sementara ia harus melaksanakan tugas atas nama Tuhan yang Maha Adil. Putusan hakim pun diberi irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sayangnya, kesan umum sekarang adalah buruknya perilaku hakim dan pelayanan aparat penegak hukum, termasuk hakim. Padahal secara stratifikasi sosial seharusnya mereka memberikan keteladanan kepada masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari kultur yang koruptif dan manipulatif. Antisipasinya adalah dengan memberikan sangsi yang tegas kepada aparat (terutama aparat penegak hukum, termasuk hakim) yang berperilaku menyimpang, serta membuka akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk melaporkan penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Ini dilakukan dengan menghidupkan fungsi pengawasan. Kesan yang muncul dan berkembang di masyarakat adalah ketika ada laporan tentang penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, yang sering terjadi adalah ”solidaritas korp” ini bisa membuat masyarakat frustasi, apatis, dan citra aparat penegak hukum akan semakin terpuruk, oleh karena itu diperlukan pengawasan eksternal.
Melihat kondisi peradilan Indonesia yang masih carut marut oleh budaya korupsi, sudah sewajarnya apabila Komisi Yudisial mempunyai fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim. Dengan demikian fungsi pengawasan Komisi Yudisial terhadap perilaku hakim dirancang untuk memperoleh monitoring secara intensif terhadap lembaga peradilan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya, dan bukan hanya monitoring secara internal saja. Monitoring secara internal dikhawatirkan menimbulkan semangat membela korp, sehingga obyektifitas sangat diragukan.
Pengertian fungsi secara harfiah adalah jabatan atau pekerjaan yang dilakukan. Fungsi pengawasan Komisi Yudisial dapat diartikan sebagai pekerjaan yang diamanatkan oleh Undang-undang untuk dijalankan sebagaimana batas wewenangnya dengan penuh tanggungjawab. Amanat Undang-undang ini yang disebut sebagai kewenangan.
Jika kita melihat dalam Kamus Populer, pengertian fungsi juga diartikan sebagai peranan, jabatan, kegunaan, guna, manfaat, bahkan kedudukan, namun jika kita kaji secara mendalam sangatlah berbeda, fungsi bukanlah peranan atau kedudukan, akan tetapi sebagai induk pekerjaan yang harus dikonkritkan atau diurai dalam tugas.
Salah satu tujuan dari pelaksnaan fungsi pengawasan perilaku adalah untuk mencegah atau mendeteksi terjadinya suatu perilaku yang tidak diinginkan atau perilaku yang dilarang. Karena itu dalam melakukan pengawasan setiap pengawas pasti memiliki acuan mengenai apa perilaku yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh pihak yang diawasi. Selama ini acuan utama yang dipergunakan lembaga pengawas untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran perilaku oleh hakim antara lain:
1) UU No. 14 Tahun 1970, UU No. 14 Tahun 1985, UU No. 2 Tahun 1986, UU No. 5 Tahun 1986, UU No. 7 Tahun 1989 dan UU No. 31 Tahun 1999. Keenam UU yang mengatur tentang badan peradilan tersebut mengatur secara umum tentang perilaku yang dilarang bagi hakim -yang jika dilanggar membuat seorang hakim dapat diberhentikan dengan tidak hormat;
2) PP No. 13/ 1993 tentang Larangan Rangkap Jabatan bagi Hakim dan Hakim Agung yang mengatur secara spesifik mengenai jabatan-jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh seorang hakim;
3) PP No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin PNS yang di dalamnya secara rinci mengatur mengenai hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang PNS, termasuk hakim;
4) Keputusan Ketua MA No. KMA/039/SK/III/2002 tentang Tata Cara Menerima Tamu yang di dalamnya mengatur pula larangan bagi Hakim untuk menerima penasehat hukum suatu perkara tanpa didampingi penasehat hukum pihak lawannya.
Pengawasan intern terhadap perilaku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Mahkamah Agung memegang kewenangan tertinggi dibidang pengawasan atas peradilan dan tingkah laku hakim dalam menjalankan tugas diseluruh tingkatan peradilan. Aspek yang diawasi oleh Mahkamah Agung biasa disebut sebagai teknis yudisial. Dalam melakukan kewenangannya, Mahkamah Agung dapat melakukan tindakan-tindakan seperti meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis yudisial, memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dainggap perlu.
Pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung selama ini masih kurang efektif dan memiliki sejumlah kelemahan sebagai berikut:
a. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Kesimpulan ini diambil dari tidak adanya mekanisme yang memberikan hak bagi pelapor untuk mengetahui progress report dari laporan yang dimasukkan. Selain itu akses masyarakat terhadap proses serta hasil pengawasan sulit dilakukan;
b. Adanya semangat korps yang menyebabkan pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung tidak efektif. Keengganan korps hakim untuk mengangkat kasus-kasus yang melibatkan anggotanya secara tidak langsung telah menyuburkan praktik-praktik tidak baik di pengadilan;
c. Kurang lengkapnya metode pengawasan;
d. Lemahnya Sumber Daya Manusia, karena penentuan seseorang untuk dapat menjadi pengawas tidak diatur dalam mekanisme yang jelas. Di dalam Mahkamah Agung seluruh Ketua Muda dan Hakim Agung secara ex officio menjadi pengawas;
e. Pengawasan yang berjalan selama ini kurang melibatkan partisipasi masyarakat. Meskipun sebenarnya Mahkamah Agung memiliki sarana untuk merangsang partisipasi masyarakat, tetapi Mahkamah Agung belum mengoptimalkan sarana tersebut, misalnya keberadaan Kotak Pos 1992 yang tidak disosialisasikan dengan baik;
f. Rumitnya birokrasi yang harus dilalui untuk melaporkan atau mengadukan perilaku hakim yang menyimpang.[45]
Setelah melihat beberapa kelemahan pengawasan terhadap perilaku hakim yang terjadi selama ini, maka Komisi Yudisial dengan fungsi pengawasannya diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan tersebut. Akan tetapi Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, yang dibacakan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi pada hari Rabu tanggal 23 agustus 2006 memutuskan:
· Pasal 1 angka 5 sepanjang kata-kata ”hakim Mahkamah Konstitusi”, pasal 20, pasal 21, pasal 22 ayat (1) huruf e, pasal 22 ayat (5), pasal 23 ayat (2), pasal 23 ayat (3), dan pasal 23 ayat (5), pasal 24 ayat (1) sepanjang kata-kata ”dan atau Mahkamah Konstitusi”, pasal 25 ayat (3) sepanjang kata-kata ”dan atau Mahkamah Konstitusi”, pasal 25 ayat (4) sepanjang kata-kata ”dan atau Mahkamah Konstitusi” Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

4.2.1. Analisa Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 memangkas sejumlah pasal yang berkaitan dengan fungsi pengawasan Komisi Yudisial telah mengakibatkan terhambat dan terganggunya pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial terhadap perilaku hakim. Meskipun ketentuan pasal 13 UU No 22 Tahun 2004 yang merupakan dasar kewenangan Komisi Yudisial tidak dicabut, namun pasal-pasal yang menyangkut pelaksanaan wewenang pengawasan tersebut telah dipangkas, sehingga hal ini menimbulkan kesulitan bagi Komisi Yudisial dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 juga telah menggantungkan fungsi pengawasan Hakim Agung kepada pengawasan internal Mahkamah Agung, begitu juga pengawasan terhadap hakim konstitusi, dikembalikan kepada Majelis Kehormatan. Sepintas putusan ini berusaha untuk meluruskan penyimpangan yang telah terjadi, akan tetapi bila dicermati lebih lanjut, hal ini hanya merupakan suatu resistensi belaka terhadap fungsi pengawasan Komisi Yudisial. Pengawasan internal hanya dapat diberlakukan terhadap suatu lembaga yang telah teruji steril dan memiliki komitmen serta kesadaran yang tinggi terhadap tugas dan kewenangannya. Dalam kaitan ini, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 perlu dan penting untuk dikritisi, karena putusan ini bersifat kontroversi. Untuk itu, penulis akan menganalisa beberapa hal penting dan mendasar terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006.

1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Pada prinsipnya, Mahkamah Konstitusi berwenang dalam menguji konstitusionalitas sebuah Undang-Undang (UU) terhadap UUD 1945 sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Namun demikian, di dalam perkara ini ada prinsip imparsialitas yang perlu dipersoalkan, terkait dengan permohonan yang menyangkut dengan kepentingan hakim-hakim konstitusi. Asas nemo judex idoneus in propria causa (niemand is geschikt om als rechter in zijn eigen zaak op te treden, bahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri)
Imparsialitas hakim terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara, bukan pula menjadi pemutus perkaranya sendiri. Imparsialitas hakim bukan sesuatu yang mudah dideteksi, dimana hal itu hanya dapat dilacak melalui prilakunya selama menjadi hakim vis-à-vis keterkaitan dengan pihak yang berperkara apalagi menjadi pemutus dalam perkaranya sendiri. Filusuf Jeremy Bentham[46] memiliki pendapat yang lebih tajam tentang imparsialitas hakim yaitu:
"Where is the cause of in whice any the slightest departure from the rule of impartiality is, in the ey of justice and reason, anything else than criminal on the part of the judge"
Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan, jika hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang berperkara, karenanya hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika dia melihat adanya potensi imparsialitas. Dalam konteks sistem hukum Indonesia, hakim harus mengundurkan diri kalau dirinya memiliki hubungan semenda dengan salah satu pihak yang berperkara atau diperiksa di muka pengadilan.
Max Weber[47] melihat imparsialitas sebagai nilai anutan utama bagi pejabat-pejabat publik. Birokrasi menurut Weber ditandai dengan semangat formalistik yang impersonal. Seorang birokrat dalam menjalankan tugasnya diasumsikan bertindak tanpa sifat-sifat benci atau senang, dan bahkan sekalipun tanpa afeksi atau sikap berlebihan. Dengan kata lain, pelaksanaan tugas birokrasi dilakukan tanpa pertimbangan-pertimbangan pribadi. Karena itu, dalam kaitan dengan tugas peradilan, seorang hakim harus melepaskan dirinya dari pertimbangan pribadi atau kepentingan kolegial ataupun asosiasi partai politik. Dalam perkara ini asas imparsialitas tersebut telah disimpangi oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan dalih bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki tanggung jawab konstitusional untuk mengawal UUD sehingga dapat mengesampingkan prinsip imparsialitas[48].
Hemat Penulis pengesampingan asas ini tidak memiliki argumentasi hukum yang kuat karena kewajiban tersebut tidak boleh dijalankan dengan melanggar prinsip universalitas hukum acara (due process) yang mengharuskan hakim memegang teguh prinsip keadilan dan imparsialitas. Asas tersebut berlaku universal, bahkan telah diatur dalam Pasal 29 ayat (5) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan: Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara. Penyimpangan atas suatu asas hanya dapat dilakukan jika diatur secara eksplisit di dalam Undang-Undang, misalnya peradilan harus dilakukan secara terbuka untuk umum, kecuali Undang-undang menentukan lain (Pasal 19 (1) UU No. 4 tahun 2004). Ternyata Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PMK/2005 tentang hukum acara pengujian Undang-undang tidak mengatur secara spesifik tentang penyimpangan atas asas imparsial dimaksud. Karena itu Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai alasan untuk menyimpang dari asas imparsial tersebut, kecuali bersandar kepada kekuasaan yang dimilikinya. Tetapi perlu dicatat, argumen kekuasaan demikian berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Akibat lebih lanjut, pemeriksaan perkara ini sarat benturan kepentingan (conflict of interest). Padahal untuk menjaga prinsip imparsialitas hakim konstitusi harus terbebas dari benturan kepentingan dalam membuat putusan.
Atas dasar demikian, karena mengenyampingkan asas nemo judex idoneus in propria causa, maka hemat penulis, hakim konstitusi telah melakukan judicial misconduct. Seharusnya hakim konstitusi tidak memutus permohonan sepanjang yang menyangkut diri mereka sendiri. Apalagi Pasal 29 ayat (6) UU No. 4 tahun 2004 menyatakan: Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2. Legal Standing Pemohon
Dengan membaca permohonan, maka terlihat dengan jelas bahwa Pemohon mempunyai legal standing, kecuali sepanjang menyangkut hakim konstitusi. Pasal 51 ayat (1) UU No 24 Tahun 2003 tentang MK menyatakan, Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Namun, karena ada satu hakim konstitusi yang berpendapat bahwa “sepanjang menyangkut ketentuan yang berkaitan dengan Hakim Konstitusi, para Pemohon tidak mempunyai legal standing karena tidak ada kerugian hak atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik yang dialami oleh para Pemohon”[49], maka seharusnya putusan ini mengandung dissenting opinion dari seorang hakim tersebut yang berkait dengan legal standing. Oleh karenanya komposisi putusan hakim dalam kasus ini seharusnya adalah 8:1, bukan 9:0. Berkait hal tersebut penting untuk diperhatikan Pasal 45 ayat (10) Undang-undang Mahkamah Konstitusi jo Pasal 19 ayat (5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan:
Pasal 45 ayat (10) UU MK Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.
Pasal 19 ayat (5) UU KK Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Yang dimaksud dengan pendapat hakim yang berbeda dalam rumusan pasal-pasal tersebut di atas, adalah pendapat hakim yang tidak mengikuti kesepakatan mayoritas hakim yang menyusun keseluruhan isi putusan itu. Artinya siapapun dan berapa jumlah hakim yang berbeda pendapat atau yang memihak kepada pendapat minoritas itu, maka kepada hakim yang berpendapat berbeda baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama mencerminkan pendapat yang hidup yang juga berkembang di tengah masyarakat. Karena itu, pendapat tersebut harus dihormati, dan bahkan diberi kesempatan untuk juga dibuka sehingga masyarakat dapat mengetahuinya secara transparan. Tranpransi ini dirasakan perlu, karena obyek yang diperkarakan di Mahkamah Konstitusi berkaitan erat dengan norma hukum yang bersifat umum dan abstrak, sehingga berkaitan erat dengan kepentingan umum seluruh rakyat, bangsa, dan negara.
Pendapat hakim yang berbeda dari pendapat mayoritas yang menentukan putusan dapat dibagi dua macam, yaitu (i) dissenting opinion; atau (ii) Consenting Opinion atau kadang-kadang disebut Concuren Opinion. Yang dimaksud dengan dissenting opinion adalah pendapat yang berbeda secara substantif sehingga menghasilkan amar yang berbeda. Misalnya, mayoritas hakim menolak permohonan, tetapi hakim minoritas mengabulkan permohonan yang bersangkutan, atau sebaliknya, mayoritas hakim mengabulkan, sedangkan minoritas hakim menyatakan tidak dapat menerima permohonan. Putusan Mahkamah Konstitusi hanya mengenal tiga alternatif putusan, yaitu (i) mengabulkan; (ii) menolak; atau (iii) menyatakan tidak dapat menerima. Jika kesimpulan hakim minoritas untuk salah satu dari ketiga pilihan itu berbeda dari kesimpulan hakim mayoritas, maka pendapat hakim minoritas yang berbeda itu disebut "dissenting opinion", namun demikian, jika kesimpulan akhirnya sama, maka hal itu tidak disebut sebagai dissenting opinion melainkan concurent opinion atau consenting opinion.[50]

3. Pokok Perkara
Menyangkut pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa, “sejauh mengenai ketentuan Pasal 1 angka 5 dan pasal-pasal lainnya dalam Undang-undang Komisi Yudisial sepanjang mengenai Hakim Konstitusi, cukup beralasan untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945”. Menurut penulis, argumentasi tersebut tidak tepat karena beberapa alasan:
Pertama, perlu disadari bahwa interpretasi konstitusi melalui pendekatan original intent tidak mudah dilakukan, dan sering menimbulkan kontroversi karena multi interpretasinya original intent itu sendiri. Dalam hal demikian, seharusnya pengertian "hakim" dilihat dari konsensus yang ada pada pembahasan UUD 1945 atau jika sulit ditemukan, digunakan pengertian umum (genus) tentang arti hakim itu sendiri.
Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak boleh mencuplik satu opini dalam pembahasan UUD 1945 dan menjadikannya rujukan sebagai original intent. Berkait dengan masalah genus arti hakim tersebut, perlu dicatat bahwa konstitusi secara tegas mengatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, hakim konstitusi tidak dapat dikeluarkan dari definisi hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Karena kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh hakim dalam semua lingkungan peradilan, maka tidak tepat mengatakan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim. Bahkan dalam risalah perubahan UUD 1945, tidak pernah disebutkan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim. Terlebih, ketentuan perundang-undangan tidak memisahkan pengertian hakim berdasarkan ruang lingkup, sehingga semua hakim dalam ranah kekuasaan negara termasuk hakim konstitusi, haruslah dimaksudkan sebagai pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Kedua, berkait dengan sistematika susunan pasal 24A, 24B dan 24C yang membahas Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi. Hemat Penulis, Susunan demikian, yang meletakkan Komisi Yudisial di bawah MA, tetapi di atas MK – bukan berarti bahwa yang diawasi Komisi Yudisial hanyalah MA, dan bukan MK. Susunan demikian semata karena salah satu kewenangan Komisi Yudisial adalah melakukan rekrutmen calon Hakim Agung, dan karena keterkaitan masalah rekrutmen tersebut, maka pembahasan Komisi Yudisial dilakukan setelah MA. Masih berkaitan dengan sistematika dalam UUD 1945 tersebut, kalau metode demikian yang digunakan, maka TNI dan Polri tidak bisa dimasukkan dalam ranah eksekutif (pemerintahan) karena BAB XII tentang Pertahanan Keamanan terletak jauh dari BAB III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara.
Ketiga, Mahkamah Konstitusi mengargumenkan bahwa hakim konstitusi tidak diawasi Komisi Yudisial karena masa jabatannya yang hanya lima tahun dan setelah itu kembali ke profesi semula[51], tidak pula tepat. Argumentasi demikian adalah pendapat yang anti akuntabilitas. Padahal semua lembaga negara dan pejabat negara harus diminta akuntabilitasnya. Terlebih yang diawasi Komisi Yudisial adalah perilaku seorang hakim, yang berarti kalau dia kembali ke profesi lainnya setelah menjadi hakim konstitusi maka perilaku yang bersangkutan tidak lagi menjadi obyek pengawasan Komisi Yudisial.
Keempat, argumen Mahkamah Konstitusi, bahwa hakim konstitusi tidak diawasi Komisi Yudisial karena, “Dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para Hakim Konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 juga tidak terdapat keterlibatan peran Komisi Yudisial sama sekali”[52] juga merupakan argumen yang patut dikritisi. Jika proses rekrutmen oleh Komisi Yudisial saja yang menjadi acuan hakim diawasi oleh Komisi Yudisial, mengapa hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi diawasi oleh Komisi Yudisial, padahal mereka tidak pula direkrut oleh Komisi Yudisial? Padahal dari sisi rekruitmennya tidak ada campur tangan dari Komisi Yudisial.
Kelima, argumen bahwa hakim konstitusi tidak diawasi Komisi Yudisial karena jika diawasi berpotensi mengganggu imparsialitas hakim konstitusi dalam perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara,[53] adalah argumen yang tidak konsisten dengan sikap Mahkamah Konstitusi sendiri yang selalu menegaskan bahwa mereka independen dan imparsial. Misalnya, dalam melaksanakan kewenangan pengujian undang-undang MK selalu mengatakan bahwa mereka tetap independen dan imparsial meskipun harus menguji produk Presiden dan DPR yang memilih enam dari sembilan hakim konstitusi. Kekhawatiran bahwa hakim konstitusi tidak bisa imparsial jika diawasi Komisi Yudisial justru menguatkan bahwa ada benturan kepentingan hakim konstitusi pada saat menjawab persoalan konstitusionalitas pengawasan Komisi Yudisial atas hakim konstitusi.
Berkait dengan pertimbangan hukum MK tentang ”Independensi Peradilan dan Independensi Hakim”[54] perlu dikutipkan pendapat lain untuk melakukan klarifikasi mengenai prinsip independensi.Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting dalam negara demokrasi. Shimon Shetreet[55] dalam Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges membagi independence of the judiciary menjadi empat hal yaitu substantive independence, yaitu independensi dalam memutus perkara; personal independence misalnya adanya jaminan masa kerja dan jabatan (term of office and tenure); internal independence misalnya independensi dari atasan dan rekan kerja dan collective independence misalnya adanya partisipasi pengadilan dalam administrasi pengadilan, termasuk dalam penentuan budget pengadilan.
Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak lain di luar peradilan. Sehingga hakim dalam memutus perkara hanya demi kadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.[56] Dalam pandangan Hakim Agung Artidjo Alkostar, tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya pengadilan yang merdeka dan bermartabat. Fungsi pengadilan merupakan salah satu tiang tegaknya negara yang berdaulat. Salah satu elemen pengadilan adalah menyangkut faktor adanya pengadilan yang merdeka.[57]
Erhard Blankenburg mengatakan bahwa independensi peradilan dapat diuji melalui dua hal, yaitu ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik (political insularity).[58] Imparsialitas terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan,bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara. Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan jika hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang berperkara. Karenanya, hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika ia melihat ada potensi imparsialitas[59] (ini juga menjadi argumentasi lain bahwa hakim tidak boleh menyimpangi asas nemo judex idoneus in propria causa). Sementara itu, pemutusan relasi dengan dunia politik penting bagi seorang hakim agar ia tidak menjadi alat untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik.[60] Berkait dengan pertimbangan MK mengenai independensi ini, perlu ditekankan bahwa semestinya ada keseimbangan antara prinsip independensi dengan akuntabilitas. Karena kekuasaan kehakiman yang independen tanpa diimbangi dengan akuntabilitas berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Pendapat hukum MK bahwa “cabang-cabang kekuasaan negara dipisahkan berdasarkan prinsip checks and balances, terutama dalam hubungan antara legislatif dengan eksekutif, maka pemisahan kekuasaan yudikatif dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya semakin dipertegas”,[61] adalah argumen yang problematik karena mengatakan bahwa saling kontrol dan saling imbang lebih ada di antara legislatif dan eksekutif, sedangkan yudikatif lebih menerapkan separation of powers. Argumen demikian cenderung makin menciptakan tirani yudikatif. Ketika merumuskan dimensi pengawasan KY yang seharusnya menjadi supporting element dengan menggunakan teori checks and balances, para hakim konstitusi serasa tiba-tiba lupa pada doktrin teori ini. Mereka merancukan konsepsi separation of powers dan checks and balances. Dalam separation of powers, pembagian secara kaku atas tiga cabang menjadi benar adanya, sedangkan dalam checks and balances hal itu bukan menjadi hal yang mutlak. Peter L. Strauss (1984) menuliskan bahwa “Unlike the separation of powers, the checks and balances idea does not suppose a radical division of government into three parts, with particular functions neatly parceled out among them. Rather, the focus is on relationship and interconnections, on maintaining the conditions in which the intended struggle at the apex may continue”.[62] Pertanyaannya kemudian adalah dari mana para hakim menyimpulkan bahwa konstitusi kita menganut checks and balances. Bahkan, jikalaupun menggunakan checks and balances, maka kedudukan KY tidak serta merta menjadi salah, karena doktrin checks and balances tidak berarti menegasikan kemungkinan adanya cabang kekuasaan yang lain.
Mahkamah Konstitusi Mengatakan bahwa kewenangan KY untuk mengawasi perilaku hakim adalah komplementer yang bukan kewenangan eksklusif dari KY adalah bertentangan dengan aturan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 sendiri yang menegaskan bahwa KY berwenang menjaga dan menegakkan perilaku hakim. Demikian pula dengan pendapat hukum MK bahwa “yang dimaksud, kewenangan lain dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 terkait erat dengan kewenangan utama KY untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung” tidaklah tepat. Dua kewenangan KY dalam hal rekrutmen Hakim Agung dan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim adalah dua kewenangan yang tidak hierarkis. Artinya, salah satu kewenangan tidak lebih utama dari yang lain.
Berkait dengan argumen MK bahwa “Penilaian terhadap putusan hakim yang dimaksudkan sebagai pengawasan di luar mekanisme hukum acara yang tersedia adalah bertentangan dengan prinsip res judicata pro veritate habetur yang berarti apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap sebagai benar (de inhoud van het vonnis geld als waard)” sudah tepat. Komisi Yudisial memang sebaiknya tidak menjatuhkan sanksi kepada hakim berdasarkan penilaian pada putusan semata. Putusan memang dapat dianalisis hanya untuk entry point guna menilai kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku hakim dalam memutus sebuah perkara.

1.3. Perspektif Pengaturan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tersebut, menghendaki segera dilakukan perubahan atas UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Hemat penulis, perubahan tersebut bersifat mendesak, untuk mengisi kekosongan hukum mengenai substansi pasal-pasal yang oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya menyatakan bahwa ketentuan tentang pengawasan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 perlu disempurnakan. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan yang lahir dari ketidakpastian hukum (rechsonzekerheid) sebagai akibat tidak adanya norma yang jelas tentang ruang lingkup pengertian perilaku hakim dan pengawasan teknis justisial terkait dengan batas-batas akuntabilitas dari perspektif perilaku hakim dengan kemandirian hakim dalam melaksanakan tugas justisialnya, secara kasat mata merupakan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman berupa tekanan yang bersifat langsung atau tidak lansung, karena Komisi Yudisial memposisikan sendiri sebagai tafsiran hukum yang benar dan tepat.[63]

Tidak tepat, tidak jelas, dan tidak rincinya ketentuan undang-undang mengenai teknis pengawasan atas perilaku hakim, telah ternyata memberi peluang kepada lembaga pelaksana Undang-undang, dalam hal ini Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung untuk secara sendiri-sendiri mengatur dan mengembangkan penafsiran yang bersifat egosentris yang pada gilirannya menimbulkan pertentangan yang menyebabkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya.
Komisi Yudisial bukan pelaksana kekuasaan kehakiman, namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial adalah lembaga yang bersifat mandiri, dengan kewenangan mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Hemat penulis, substansi pengaturan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dalam perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sekurang-kurangnya harus mencakup tiga hal yaitu: (1) obyek pengawasan Komisi Yudisial; (2) ruang lingkup lingkup pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dengan kata lain apa yang diawasi oleh Komisi Yudisial dan (3) pedoman yang dipergunakan oleh Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan.
Untuk itu, dalam membahas perspektif pengaturan fungsi pengawasan Komisi Yudisial pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, penulis akan berpatokan kepada ketiga hal tersebut, dengan argumentasi bahwa pembatalan pasal-pasal fungsi pengawasan Komisi Yudisial oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan kekaburan tentang obyek pengawasan, ruang lingkup pengawasan dan pedoman pengawasan perilaku hakim.

4.3.1. Obyek Pengawasan
Perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial harus mencatumkan bahwa yang menjadi obyek pengawasan Komisi Yudisial adalah semua hakim meliputi hakim pada Mahkamah Agung, dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan Hakim Pada Mahkamah Konstitusi, karena fungsi pengawasan Komisi Yudisial bersumber pada kewenangan Komisi Yudisial yang diatur dalam Pasal 24B UUD 1945. Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menjelaskan bahwa ”Komisi Yudisial adalah lembaga yang bersifat mandiri, dengan kewenangan mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.
Untuk memberikan argumentasi bahwa obyek pengawasan Komisi Yudisial meliputi semua hakim dalam semua tingkatan, penulis akan menggunakan pendekatan interpretasi, moralitas konstitusional, dan urgensi konstitusionalitas.

4.1.2. Menjaga dan menegakkan Kehormatan Keluhuran Martabat, serta Perilaku Hakim
Selain mempunyai kewenangan dalam rekruitmen Hakim Agung, pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 juga memberikan wewenang kepada Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Lebih lanjut pasal 20 UU No.22 Tahun 2004 menyatakan bahwa untuk melaksanakan fungsi tersebut Komisi Yudisial melakukan pengawasan terhadap prilaku hakim.
Rumusan pasal 24B ayat (1) UUD 1945, jika dibaca secara sederhana, maka kewenangan Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hanya ditujukan kepada ”hakim”. Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah kata ”hakim” dalam pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mengenaralisir semua hakim pada semua tingkatan atau sebaliknya.
Untuk memberi makna kata ”hakim” seperti yang tersebut di dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, penulis akan menggunakan 4 (empat) metode penafsiran suatu perundangan-undangan yaitu: penafsiran sistematik, penafsiran gramatikal, penafsiran otentik untuk melihat original intend-nya dan penafsiran sosiologis atau teleologis.

(a). Penafsiran sistematik
Jika mengkaji Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman di dalam Undang-Undang Dasar 1945 maka akan ditemukan kata-kata ”hakim”, ”Hakim Agung” dan ”hakim konstitusi”. Jika dielaborasi lebih jauh, kata-kata tersebut dapat ditemukan sebagai berikut:
a. Kata ”Hakim Agung” disebutkan sebanyak 4 (empat) buah serta tersebut di dalam Pasal 24A ayat (1) (2) dan (3) dan Pasal 24B ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945;
b. Kata ”hakim” disebutkan sebanyak 2 (dua) buah serta tersebut di dalam Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945;
c. Kata ”hakim konstitusi” disebutkan sebanyak 4 (empat) buah serta tersebut di dalam Pasal 24C ayat (3) (4) (5) dan (6) Undang-Undang Dasar 1945.
Pada uraian di atas sudah dikemukakan bahwa kata ”Hakim Agung” ada di dalam Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam Pasal 24A ayat (5) dikemukakan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan ”susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang”. Berpijak pada Pasal ini maka secara a contrario dapatlah dikemukakan bahwa hal-hal selain susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung yang berkaitan dengan hakim agung didasarkan oleh Pasal lainnya di dalam Undang-Undang Dasar.
Bila dikaitkan dengan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 yang memuat kata ”hakim” tetapi secara limitatif hanya mengatur mengenai ”syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim” maka dapatlah di interpretasikan bahwa ketentuan mengenai syarat untuk menjadi hakim dan untuk diperhentikan sebagai hakim agung akan bersumber dari Pasal 25 Undang-Undang dasar 1945. Berdasarkan uraian di atas maka juga dapat disimpulkan bahwa hal-hal lain selain mengenai ”susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai Hakim Agung”, seperti antara lain: pengawasan dan pengaturan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran dan martabat hakim agung akan didasarkan oleh ketentuan yang tersebut di dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Berdasarkan uraian di atas dengan menggunakan penafsiran sistematik maka dapatlah disimpulkan bahwa pengaturan kewenangan lain termasuk di dalamnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran dan martabat hakim agung dan atau hal lainnya yang bukan mengenai hal-hal ”susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai Hakim Agung” didasarkan dan bersumber dari Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.


(b). Penafsiran Gramatikal
Bila dilakukan pengkajian berdasarkan penafsiran gramatikal terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: ”Komisi Yudisial...berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim”, maka dapatlah dikemukakan makna penafsiran dimaksud, yaitu hal-hal sebagai berikut:
1. Kalimat ”mengusulkan pengangkatan Hakim Agung” dan kalimat ”mempunyai wewenang lain dalam rangka menegakkan...” dihubungkan oleh kata ”dan”. Kata ”dan” dimaksud adalah kata penghubung satuan ujaran (kata, frase, klausa dan kalimat) yang setara, memiliki tipe yang sama dan mempunyai fungsi yang sama[64] . Dengan demikian kalimat ”mengusulkan pengangkatan hakim agung” mempunyai posisi yang setara dengan kalimat ”mempunyai wewenang lain dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim”. Berpijak pada penafsiran ini maka ada beberapa wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial, yaitu: kesatu, kewenangan untuk mengusulkan hakim agung; kedua, kewenangan lainnya yang berkaitan dengan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim;
2. Kata-kata ”wewenang lain” di dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 justru merupakan suatu penekanan atas beberapa hal, yaitu: kesatu, ada beberapa kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial; kedua, ada kewenangan yang bersifat khusus yaitu hanya ditujukan kepada hakim agung saja dalam proses rekruitmen dan ada kewenangan lain yang bersifat tertentu yang ditujukan pada ”hakim” termasuk Hakim Agung, yaitu untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim”.
3. Kata ”hakim” harus dimaknai bersifat ”genus” dan kata ”hakim agung” bersifat sebagai ”species”. Di dalam bahasa yang lain juga dapat ditafsirkan bahwa kata ”hakim” ini dimaknai sebagai suatu kategori, sedangkan kata ”hakim agung” adalah sesuatu yang bersifat pangkat atau jabatan.

(c). Penafsiran Otentik
Di dalam konteks penafsiran otentik untuk memberikan penafsiran original intend suatu pasal maka hal tersebut dapat dilacak pada perdebatan ketika Pasal dimaksud dirumuskan. Pada Rapat Pleno ke-41 Panitia Ad Hoc I, Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 8 Juni 2000, diajukan suatu usulan bahwa: ”Komisi Yudisial berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap Hakim Agung” ”pengawas yudisial yang mengawasi segala tingkah laku hakim dalam bidang yudisial yang dilakukan oleh para hakim disemua tingkatan”[65]
Di dalam Rapat Pleno ke-36 Panitia Ad Hoc dari Badan Pekerja MPR tanggal 26 September 2001, juga diajukan suatu gagasan yang berkaitan dengan cakupan pihak yang perlu diawasi oleh Komisi Yudisial, yaitu: ”Pengawasan Komisi Yudisial sebenarnya adalah bukan hanya menyangkut Hakim Agung tetapi menyangkut seluruhnya hakim tinggi dan hakim pengadilan negeri,.mengusulkan supaya para hakim ini di filter oleh suatu komisi yang sifatnya permanen”.[66]
Di dalam Naskah Akademis mengenai Rancangan UU Komisi Yudisial menurut versi Mahkamah Agung juga dapat ditemukan hal-hal yang berkaitan penafsiran kata ”hakim”, seperti antara lain: ”kata hakim disini harus diartikan sebagai seluruh hakim, baik hakim tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi”[67]

(d). Penafsiran Sosiologis atau teleologis
Bilamana dikaji berdasarkan penafsiran sosiologis atau teleologis maka ada cukup banyak pihak yang mendukung kehadiran Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan keluhuran dan martabat hakim dan mereka secara eksplisit menyatakan bahwa cakupan pihak yang diawasinya bukan hanya hakim di pengadilan pertama dan banding saja. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pendapat, seperti antara lain: ”...Komisi Yudisial ini tidak hanya, untuk mengawasi para Hakim Agung saja, tetapi juga dapat difungsikan sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap tugas pengadilandi semua tingkatan”[68]

(e). Perbandingan Istilah Hakim dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman
Ditinjau dari Undang-undang yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman, baik dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman serta Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terlihat jelas bahwa yang dimaksud dengan “hakim” adalah seluruh hakim mulai dari hakim pada tingkat pertama hingga Hakim Agung.

1. Istilah Hakim dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan
Dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan disebutkan “para Hakim merdeka dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dan hanya tunduk pada Undang-undang”.
Dalam pasal-pasal selanjutnya tidak dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan hakim tersebut hanyalah hakim yang bukan hakim agung. Seandainya Undang-undang ini membedakan makna hakim dengan Hakim Agung hal tersebut akan menjadi tidak masuk akal, karena seakan hakim yang merdeka dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman hanyalah hakim ditingkat pertama dan banding, sementara Hakim Agung tidak.

2. Istilah Hakim dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 memang tidak disebutkan adanya prinsip independensi hakim seperti dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948. namun seperti halnya Undang-undang sebelumnya juga tidak menyebutkan secara khusus mengenai Hakim Agung. Istilah hakimpun baru muncul dalam pasal 8 ayat (1) yang berbunyi “Semua pengadilan memeriksa dan memutus dengan tiga orang hakim”. Sementara itu dalam pasal 7 ayat (2) nya disebutkan bahwa “Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan” . dengan demikian jika dibaca secara sistematis maka kata hakim dalam pasal 8 ayat (1) termasuk juga hakim agung, mengingat Mahkamah Agung merupakan pengadilan tertinggi yang juga tunduk dengan ketentuan pasal 8 ayat (1) tersebut.

3. Ketentuan Hakim Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999)
Dalam Undang-undang inipun tidak dibedakan antara hakim dengan Hakim Agung, bahkan dalam Undang-undang ini sama sekali tidak menggunakan istilah Hakim Agung. Dalam pasal 27 Undang-undang Nomor 14 disebutkan :
(1) Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat;
(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh.

Dengan tidak disebutkannya Istilah Hakim Agung secara spesifik dalam Undang-undang ini, maka pengertian hakim dalam kedua ayat tersebut di atas tentunya juga mencakup hakim dalam pengertian hakim Agung serta hakim-hakim lainnya yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, sangat tidak logis jika kedua ayat tersebut hanya mengikat bagi hakim tingkat pertama dan banding saja. Janggal rasanya jika Hakim Agung tidak memiliki kewajiban untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dimasyarakat,atau memperhatikan sifat-sifat yang baik dan yang buruk dari tertuduh dalam perkara pidana.
Selain itu, Pasal 27 tersebut termaktub dalam Bab IV yang berjudul “Hakim dan Kewajibannya” yang terdiri dari tiga pasal. Dilihat dari judul Bab itu sendiri, terlihat bahwa tanpa ada bab yang khusus yang mengatur mengenai Hakim Agung dan kewajibannya, dapat disimpulkan bahwa istilah hakim yang dimaksud meliputi semua hakim yang mempunyai tugas menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman mulai dari hakim tingkat pertama sampai Mahkamah Agung.

4. Istilah Hakim dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Seperti juga dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, dalam Undang-undang ini terdapat Bab khusus yang mengatur mengenai Hakim dan Kewajibannya yaitu dalam Bab IV. Bab inipun terdiri dari tiga pasal yang intinya sama dengan Bab IV UU No. 14 Tahun 1970 namun dengan beberapa tambahan prinsip, khususnya mengenai konflik kepentingan dan konsekuensi hukumnya.
Pada UU ini, telah dikenal satu institusi Peradilan baru yaitu Mahkamah Konstitusi. Dalam Mahkamah Konstitusi terdapat Hakim Konstitusi. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pengertian hakim seperti yang terdapat dalam Bab IV tersebut mencakup juga Hakim Konstitusi?
Jika dilihat dari judul Undang-undang ini, jelas bahwa Undang-undang ini mengatur mengenai kekuasaan kehakiman serta mencoba meletakkan prinsip-prinsip dasar kekuasaan kehakiman. Pada dasarnya kekuasaan kehakiman merupakan suatu cabang kekuasaan negara yang dibedakan dengan cabang kekuasaan negara lainnya, yaitu eksekutif dan legislatif. Dalam kekuasaan kehakiman, hakim merupakan komponen utama yang diperlukan untuk menjalankan kekuasaan ini. Istilah hakim merupakan istilah yang khas dalam kekuasaan ini, yang membedakan dengan lembaga-lembaga penyelesaian sengkta lainnya, seperti mediasi, arbitrase maupun lainnya. Meskipun hakim terbagi dalam beberapa lingkup peradilan maupun mahkamah, namun ditinjau dari sudut fungsi, hingga simbol-simbol, seperti penggunaan toga, palu, posisi ruang sidang dan lain sebagainya, pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang mendasar antara hakim pada Mahkamah Agung serta peradilan dibawahnya dengan hakim pada Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa secara historis pedngertian hakim menurut keempat Undang-undang yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman adalah semua hakim yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman yang mencakup hakim tingkat pertama hingga Mahkamah Agung serta Hakim Konstitusi Pada Mahkamah Konstitusi.

f) Istilah Hakim dalam Undang-undang Mahkamah Agung
Semenjak Indonesia merdeka hingga saat ini, telah ada beberapa Undang-undang yang pernah mengatur Mahkamah Agung, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Untuk itu, di bawah ini pebulis akan menganalisa kata ”hakim” dalam Undang-undang Mahkamah Agung.

2. Istilah Hakim dalam UU No. 1 Tahun 1950
Dalam pasal 3 ayat (1) disebutkan ”Mahkamah Agung memutus dengan tiga orang hakim”. Dari pasal ini terlihat jelas bahwa makna dari kata hakim semata tanpa diikuti kata Agung tidaklah bermakna hanya merujuk pada hakim yang berada pada tingkat pertama dan hakim banding, oleh karenanya, jika seandainya Undang-undang ini bermaksud demikian, maka akan sangat janggal, bagaimana mungkin perkara di Mahkamah Agung diperiksa dan diputus bukan oleh Hakim Agung melainkan oleh hakim tingkat pertama atau banding. Dari pasal ini terlihat jelas bahwa kata hakim mengacu kepada suatu pranata yang memiliki fungsi kehakiman, bukan tingkat jabatan kehakimannya.

3. Istilah Hakim dalam UU No. 13 Tahun 1965
Ditinjau secara sistematis Undang-undang ini terdiri dari 7 (tujuh) bab. Bab I tentang Ketentuan Umum, Bab II tentang Pengadilan Negeri, Bab III tentang Pengadilan Tinggi, Bab IV tentang Mahkamah Agung, Bab V tentang Panitera, Bab VI tentang Juru Sita, dan Bab VII tentang Ketentuan Penutup.
Dalam pasal 7 Undang-undang ini disebutkan mengenai larangan rangkap jabatan bagi hakim atas jabatan-jabatan tertentu seperti menjadi penasehat hukum, pelaksana putusan pengadilan dan lain sebagainya. Pasal 7 ini terdapat dalam Bab I tentang Ketentuan Umum.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ketentuan umum dalam suatu peraturan perundang-undangan umumnya mengatur mengenai prinsip-prinsip. Bahwa prinsip larangan rangkap jabatan merupakan prinsip yang melekat bagi hakim dalam semua tingkatan. Dari pasal ini terlihat jelas bahwa kata hakim memang ditujukan untuk semua hakim dalam semua tingkatan, oleh karena aturan serupa tidak terdapat dalam Bab IV yang mengatur mengenai Mahkamah Agung, dan sangat tidak masuk akal jika khusus untuk Mahkamah Agung tidak terikat oleh prinsip larangan rangkap jabatan diamaksud.
Atas dasar tersebut, maka jelas yang dimaksud hakim dalam Undang-undang ini tidak dibatasi hanya untuk hakim pada tingkat pertama atau banding, akan tetapi untuk hakim semua tingkatan.



4. Istilah Hakim dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
Dalam pasal 40 Undang-undang ini disebutkan “Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim”.

5. Istilah Hakim dalam Undang-undang nomor 5 Tahun 2004
Penggunaan kata Hakim semata tanpa kata Agung dalam Undang-undang ini memang tidak banyak. Istilah Hakim hanya terdapat dalam pasal 1 huruf 6 yang mengubah pasal 9 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985. Pasal ini mengatur mengenai sumpah jabatan Hakim Agung. Selengkapnya berbunyi:
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus –lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa

Dari sumpah jabatan tersebut, terlihat jelas bahwa Hakim Agung termasuk katagori hakim, atau dengan kata lain kata hakim dalam Undang-undang ini mencakup semua hakim
Berdasarkan seluruh uraian di atas yang mengkaji makna kata ”hakim” seperti yang tersebut di dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang dasar 1945 dengan menggunakan metode penafsiran suatu perundang-undangan yang bersifat penafsiran sistematik, penafsiran otentik untuk melihat original intend-nya, penafsiran sosiologis atau teleologis, maka dapatlah disimpulkan bahwa hakim seperti tersebut di dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya hakim pertama dan banding tetapi juga termasuk Hakim Agung.
Dalam konteks ini, maka kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim menjangkau hakim Mahkamah Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi.
Kehormatan adalah kemuliaan atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh para hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan. Kehormatan hakim terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan peraturan Perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan yang timbul dari masyarakat.
Sebagaimana halnya kehormatan, keluhuran martabat yang merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri yang mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga, dipertahankan oleh hakim melalui sikap atau perilaku yang berbudi pekerti luhur. Selain tidak menodai kehormatan dan keluhuran martabatnya,maka seorang hakim harus menunjukkan perilaku yang dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada putusan pengadilan.
Filosofi lahirnya kewenangan Komisi Yudisial untuk melakukan penegakan kehormatan dan keluhuran martabat hakim adalah bahwa kelembagaan kekuasaan kehakiman perlu adanya sarana untuk check and balances terutama dar pihak luar lembaga kekuasaan kehakiman, mengingat pasca amandemen UUD 1945 sarana check and balances antar lembaga negara mulai ditumbuhkan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudisial. Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa kewenangan lembaga Komisi Yudisial overlaping dengan kewenangan Mahkamah Agung yang juga melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap para hakim adalah pendapat yang kurang memahami konstitusi dan sejarahnya.

4.1.2.1. Tata Cara Pengawasan Hakim
Untuk melaksanakan fungsinya mengawasi hakim, Komisi Yudisial dapat melakukan beberapa hal antara lain, menerima laporan dari masyarakat tentang perilaku hakim; meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim; melakukan pemeriksaan dugaan pelanggaran perilaku hakim; memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan membuat hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/ atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Komisi Yudisial dalam melaksanakan fungsinya sebagai pengawas hakim tidak boleh sewenang-wenang. Komisi Yudisial wajib mentaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan wajib menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota. Perlu diperhatikan bahwa pelaksaanaan tugas pengawasan tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara[69]
Untuk melaksanakan pemanggilan dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim, Komisi Yudisial harus membuat kode etik perilaku hakim secepatnya. Karena belum ada ukuran yang jelas yang dimaksud perilaku hakim yang berhormat dan bermartabat. Barangkali sebagai wacana bahwa perilaku dapat dibagai menjadi beberapa kategori antara lain: perilaku hakim didalam ruang sidang; perilaku hakim diluar ruang sidang; perilaku hakim yang berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari; dan ketidak mampuan phisik dan mental.
Perilaku hakim didalam ruang sidang atau memimpin sidang meliputi perilaku yang tidak pada tempat didalam ruang sidang. Termasuk perlakuan dan pertimbangan hakim terhadap pembela, saksi dan yang terlibat dalam persidangan dalam mendengarkan kesaksian, maupun pembelaan. Perilaku secara phisik yang tidak pada tempatnya atau tidak dapat memimpin sidang dengan baik. Sebagai contoh perilaku hakim yang tidak pada tempatnya adalah mengutarakan komentar yang bersifat rasial terhadap ras, suku, agama dan jenis kelamin serta tidur dalam persidangan atau mabuk. Bisa juga hakim dikenakan teguran berperilaku yang tidak berhormat dan bermartabat bilamana membutuhkan waktu yang sangat dalam membuat keputusan.
Hakim harus mandiri dari semua pengaruh yang berkemungkinan mempengaruhi kemampuan mereka untuk memutus perkara secara adil dan tidak memihak. Untuk itu para hakim tidak diperbolehkan membiarkan anggota keluarganya, masyarakat sekitar dan hubungan politik memperngaruhi keputusan pengadilan. Sebagai contoh hakim tidak boleh memberi atau menerima hadiah, sogok, kredit atau bantuan. Untuk itu para hakim harus membuat laporan keuangan baik kepada pengadilan maupun Komisi Yudisial.
Sedangkan perilaku hakim yang berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari yang tidak berhormat dan bermartabat meliputi: melakukan persidangan dan berdiskusi hanya melibatkan salah satu pihak saja; mengintervensi hubungan pembela dengan yang dibela; bias; melakukan kampanye tidak pada tempatnya; penghinaan tehadap wibawa peradilan; melecehkan keadilan; dan tindakan yang bersifat kriminal.
Terakhir, mengenai keadaan hakim, Komisi Yudisial juga berwenang dan bertanggung jawab untuk mengawasi ketidakmampuan phisik dan mental para hakim. Ketidak mampuan phisik dan mental meliputi: ketergantungan terhadap alkohol dan obat; faktor ketuaan; mempunyai penyakit yang serius; atau penyakit mental. Untuk itu Komisi Yudisial dapat meminta pemeriksaan kesehatan sebagai bagian dari investigasinya dan bisa menyarankan untuk terapi atau konselling bilamana dianggap perlu.
Di banyak negara fungsi pengawasan Komisi Yudisial sudah jamak dan tidak pernah terbatas berlaku hanya untuk level hakim tertentu, akan tetapi sebaliknya berlaku untuk semua hakim. Beberapa fungsi Komisi Yudisial di negara lain justru lebih kuat dibandingkan dengan pengawasan Komisi Yudisial di indonesia. Misalnya pasal 174 ayat (3), dan ayat (6) Konstitusi Afrika Selatan menegaskan bahwa Judicial Service Comission berhak memberikan rekomendasi dalam pemberhentian hakim, mengajukan calon ketua MA, memberikan masukan dalam pengangkatan calon Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, sehingga fungsi pengawasan Judicial Service Comission di Afrika Selatan mencakup semua hakim pada semua level. Begitu juga di Argentina, pasal 99,144 Konstitusi Argentina mengatur bahwa Council Of Magistery, berhak mengajukan calon Hakim Agung, mengembangkan pemilihan hakim tingkat bawah, melakukan usulan hakim tingkat bawah, serta memutuskan pemberhentian hakim.[70]

4.3.2. Ruang Lingkup dan Mekanisme Pengawasan oleh Komisi Yudisial
Perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial perlu menegaskan ketentuan dalam UUD 1945, bahwa yang menjadi kompetensi Komisi Yudisial adalah ”perilaku”. Ini penting untuk ditegaskan, karena ada kesan selama ini Komisi Yudisial telah memasuki wilayah teknis judisial dengan mengkaji putusan yang independensinya dijamin secara konstitusional. Peninjauan putusan secara hukum hanya dapat ditinjau melalui mekanisme upaya hukum. Jika Komisi Yudisial dalam menjalankan fungsi pengawasannya memasuki ranah teknis judisial,maka Komisi Yudisial telah melanggar prinsip independensi kekuasaan kehakiman yang merupakan pilar tegaknya negara hukum.
Perlu juga ditegaskan dalam revisi UU No. 22 Tahun 2004 apakah perilaku hakim yang menjadi kompetensi Komisi Yudisial bersifat umum ataukah terbatas pada perilaku dalam menjalankan profesinya sebagai hakim. Hemat penulis bahwa perilaku hakim adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan kedinasan. Artinya perilaku hakim yang menjadi obyek pengawasan Komisi Yudisial terbatas kepada perilaku dalam menjalankan profesinya sebagai hakim. Misalnya, apakah ketentuan-ketentuan dalam hukum acara telah diterapkan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, jika misalnya perilaku seorang hakim melakukan poligami tanpa izin, tidak menjadi obyek pengawasan Komisi Yudisial, karena perbuatan poligami tanpa izin tidak berkaitan dengan profesi hakim. Ini penting untuk ditegaskan dalam revisi UU Komisi Yudisial untuk menghindari penafsiran ganda tentang perilaku hakim tersebut. Jika dalam revisi UU tidak dinyatakan secara tegas tentang ruang lingkup perilaku hakim, maka dikemudian hari akan memunculkan masalah demi masalah yang berkaitan dengan ruang lingkup pengawasan Komisi Yudisial.

4.3.3. Pedoman Pengawasan
Berkenaan dengan pedoman pengawasan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim perlu ditetapkan melalui Code of Ethics dan atau Code Of Conduct. Kode etik bagi para hakim sangat diperlukan, karena Kode etik merupakan kumpulan asas atau nilai moral atau norma yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku. Kode etik dianggap penting bagi profesi hukum, karena profesi hukum merupakan suatu masyarakat moral yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kode etik adalah sebuah kompas yang menunjuk arah moral yang sekaligus juga berfungsi untuk menjamin mutu moral para hakim di mata masyarakat. Dengan demikian Kode etik hakim merupakan pengaturan diri dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis.
Persoalan yang muncul kemudian adalah siapakah yang berhak menetapkan kode etik tersebut?. Hemat penulis, Kode etik tentang perilaku hakim harus ditetapkan oleh Komisi Yudisial bersama-sama dengan Mahkamah Agung, dengan argumentasi bahwa Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku Kekuasaan Kehakiman diberikan hak dan wewenang untuk melakukan pengawasan tertinggi berdasarkan Undang-undang yang dijabarkan dalam ketetuan pasal 32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, akan tetapi pengawasan yang dilakukan Mahkamh Agung bersifat internal yang menyangkut persoalan teknis yudisial, sedangkan Komisi Yudisial mempunyai fungsi pengawasan yang bersifat eksternal hanya tersisa terhadap hal-hal di luar penyelenggaraan peradilan. Penetapan kode etik secara bersama-sama ini diharapkan dapat meminimalisir konflik antara lembaga negara di masa yang akan datang. Jika hal ini dimungkinkan, kiranya bukan hal yang percuma Komisi Yudisial sebagai pendukung pelaku Kekuasaan Kehakiman mampu mendukung terwujudnya ”pengawasan melekat’ yang tidak hanya sekedar instansional saja, sehingga kepastian demi terwujudnya peradilan yang bersih, akuntabel dan berwibawa dapat terwujud.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Dari uraian yang telah disajikan pada bab-bab sebelumnya, maka sebagai penutup dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Ada perbedaan rumusan mengenai pengaturan kewenangan Komisi Yudisial yang diatur dalam pasal 24B UUD 945 dan pasal 13 UU No 22 Tahun 2004;
a) Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 dikatakan bahwa ”Komisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)”. Padahal dalam pasal 24B UUD 1945 dinyatakan”Komisi Yudisial bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung .
b) Dari segi kewenangan yang kedua, pasal 24B UUD 1945 menentukan ”Komisi Yudisial mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim”. Dari ketentuan ini dapat dielaborasi menjadi (i) menjaga kehormatan hakim; (ii) menjaga keluhuran martabat hakim; (iii) menjaga perilaku hakim; (iv) menegakkan kehormatan hakim; (v) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (vi) menegakkan perilaku hakim. Dalam kata ”menjaga” terkandung pengertian tindakan yang bersifat preventif, sedangkan dalam kata ”menegakkan” terdapat pengertian tindakan yang bersifat korektif. Karena itu, tiga kewenangan yang pertama bersifat preventif atau pencegahan, sedangkan tiga yang kedua bersifat korektif. Namun didalam rumusan pasal 13 UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial huruf b, rumusan salah satu kewenangan Komisi Yudisial tersebut diubah menjadi “menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim” . jika dielaborasi cakupannya menjadi jauh lebih sempit, yaitu hanya (i) menegakkan kehormatan hakim; (ii) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (iii) menjaga perilaku hakim. Dari sini dapat dikatakan bahwa pembentuk Undang-undang dengan sengaja telah membatasi pengertian yang terkandung dalam pasal 24B UUD 1945. Hal ini dapat disadari bahwa pembentuk Undang-undang telah mengabaikan asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya asas”kejelasan rumusan” yang mensyaratkan bahwa setiap peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas, dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
2. Dilihat dari sudut teori kewenangan, maka setiap kewenangan yang diberikan harus mempunyai kekuatan mengikat, oleh karenanya kewenangan juga mempunyai akibat hukum. Kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial tidak mempunyai kekuatan mengikat, karena sifatnya hanya mengusulkan pengangkatan calon Hakim Agung dan tidak mempunyai akibat hukum karena jika calon yang diusulkan tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan tidak mendapat Pengesahan dari Presiden, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat dulakukan oleh Komisi Yudisial. Dalam hubungan ini kewenangan yang bersifat penuh ada pada DPR yaitu memberikan persetujuan dan pada Presiden yaitu memberikan penetapan, sedangkan kewenangan yang ada pada Komisi Yudisial adalah kewenangan yang bersifat terbatas dan tidak penuh.
3. Substansi pengaturan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dalam perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sekurang-kurangnya harus mencakup tiga hal yaitu: (1) obyek pengawasan Komisi Yudisial; (2) ruang lingkup lingkup pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dengan kata lain apa yang diawasi oleh Komisi Yudisial dan (3) pedoman yang dipergunakan oleh Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan.
a. Obyek Pengawasan Komisi Yudisial adalah semua hakim yang meliputi Hakim pada Mahkamah Agung, hakim pada badan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung dalam lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan Hakim Pada Mahkamah Konstitusi;
b. Ruang Lingkup Pengawasan Komisi Yudisial adalah sebatas ”perilaku hakim” bukan teknis yudisial. Untuk itu Komisi Yudisial tidak boleh memasuki teknis yudisial dengan mengkaji putusan yang independensinya dijamin secara konstitusional;
c. Pedoman Pengawasan perilaku hakim oleh Komisi Yudisial ditetapkan melalui Code of Ethics.

5.2. Saran
1. Segera melakukan Amandemen UUD 1945 Bab IX yang mengatur tentang kekuasaan Kehakiman, mengingat induk kewenangan Komisi Yudisial bersumber dari pasal 24B UUD 1945. karena bagaimanapun bagusnya revisi UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial akan tidak bermakna manakala UUD 1945 Bab IX khususnya pasal 24B tidak dilakukan amandemen.
2. Agar kekosongan hukum tentang pengawasan tidak berlangsung lama maka DPR dan Presiden perlu segera melakukan perubahan UU KY, dengan menyinkronkan pembahasannya bersamaan dengan undang-undang lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
3. Dalam melakukan perubahan UU KY, agar wewenang pengawasan yang akan dilakukan oleh KY direvitalisasi. Misalnya, KY bisa memberikan sanksi pemberhentian kepada hakim tanpa harus melalui Pimpinan MA dan Majelis Kehormatan Hakim.
4. Untuk menghindari konflik terbuka antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial, maka Ketua Mahkamah Agung secara ex officio sebagai Ketua Komisi Yudisial


DAFTAR PUSTAKA

Alder, John. 1989. Constitutional and Administratif Law, Macmillan Profesional Masters. London.
Artidjo Alkostar, (2005), Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta
Assegaf, Rifqi S. 2004. Urgensi Komisi Yudisial Dalam Pembaharuan Peradilan di Indonesia dalam “Jentera”, Jurnal Hukum Edisi 2 Tahun II. Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly. 1996. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, UI-Press.
. 2003. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945, makalah disampaikan dalam seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denpasar. 14-18 Juli 2003.
. 2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, KONPRESS. Jakarta.
. 2006. Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, KONPRESS. Jakarta.
. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, KONPRESS. Jakarta.
A. Muhammad Asrun, (2004), Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Elsam, Jakarta.
Azhary, Muhammad Tahir. 2004. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada media. Jakarta.
Budiarjo, Miriam. 1992. Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Fakultas Hukum UII, 2001
C.F. Strong. 1973. Modern Political Constiutution: Sidwick & Jackson.
Fajar, Abdul Mukthi. 2004. Tipe Negara Hukum, Bayumedia dan INTRANS. Malang.
Hadjon, Philipus M. 1987. Perlindungan Hukum Terhadap Rakyat, Bina Ilmu. Surabaya.
Hadjon, Philipus M. Pemerintahan Menurut Hukum, Makalah Tidak Dipublikasikan. Surabaya.
Harjono. 2003. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Makalah disampaikan pada Diskusi Hukum Tanggal 6 Juni 2003.
Harman, Benny K. 1997. Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indoensia, ELSAM. Jakarta.
Ibrahim, Johnny. 2005. Teori & Metodologi Penelitian Normatif, Bayumedia. Malang.
Isjwara, F. 1964. Pengantar Ilmu Politik, Dhiwantara. Bandung.
J. S. Badudu - Sutan Mohammad Zain. 1884. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Kusnardi, M. dan Harmaily Ibrahim. 1980. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum UI dan Sinar Bakti. Jakarta.
Lukman, Marcus. 2001. Penerapan Metode statistika Non Parametrik Dalam Ilmu Hukum, PMIH UNTAN. Pontianak.
Locke, John. 1993. Two Traetises of Government, New Edition. London.
Marzuki, Peter Mahmud. 2006. Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Muchsan, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1992
Montesquieu. 1993. Membatasi Kekuasaan: Telaah mengenai Jiwa Undang-Undang (The Spirit of the Law), Gramedia. Jakarta.
Peter L. Strauss, The Place of Agencies in Government: Separation of Powers and Fourth Branch, 1984, Columbia Law Review. Lihat juga di dalam, John H. Garvey dan Alexander Aleinikov, Modern Constitutional Theory, West Publishing and Co, Minnesota, USA, 1994,
Paulus Effendi Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993
Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum Normatif, UI Press. Jakarta. 1986.
Setiardja, A. Gunawan. 1990. Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius. Yogyakarta.
Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu, Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Suseno, Franz Magnis. 1993. Etika Politik: Prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern, gramedia. Jakarta.
Shimon Shetreet, (1995), Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and ContemporaryChallenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes (eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe, Netherlands. 1985). Dikutip dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, (2003), Mahkamah Agung Republik Indonesia
Soebroto Brotodirejo, Hukum Kepolisian di Indonesia (Suatu Bunga Rampai) Tarsito, Bandung, 1985
Sjachran Basah, Ilmu Negara: Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan, Citra Adtya Bakti, Bandung, 1997, hal. 43-35
Thalib, Abdul Rasyid. 2006. Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Citra Aditya Bakti. Bandung.
Thohari, A. Ahsin. 2004. Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilani, ELSAM. Jakarta.
Zaini, Hasan Z. 1996. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni. Bandung.
Zakiyah, Wazingatu. 2002. Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, ICW. Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil Perubahan).
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4415)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4358)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316)
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV 2006
Konstitusi Afrika Selatan disetujui pada tanggal 8 Mei 1996, diubah pada 11 Oktober 1996, berlaku efektif 7 Pebruari 1997.
Naskah Akademik Rancangan UU Komisi Yudisial Versi Mahkamah Agung
Buku Kedua Jilid 3C Risalah Rapat PAH I MPR, Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2001
Buku Kedua Jilid 8A, Risalah Rapat PAH I MPR, Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2001

Koran
Media Indonesia, 20-01-2006.




[1] Mas Achmad Santoso, artikel, Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial, Harian Kompas tanggal 2 Maret 2005, hal.5.
[2] M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1980, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:Pusat Studi Hukum UI dan Sinar Bakti, hal. 142.
[3] Pendapat Supomo dikutip oleh A. Mukthi Fadjar, 2004, Tipe Negara Hukum, Malang, Bayu Media dan In-TRANS, hal. 7
[4] Ibid, hal. 19
[5] Muhammad Tahir Azhary, Loc. Cit, hal. 83-84
[6] Ibid, hal. 100
[7] Hasan Zaini Z., Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung Alumni, hal. 155
[8] Philiphus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum terhadap Rakyat, Surabaya, Bina Ilmu, hal.98
[9] Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta, KONPRESS, hal. 299-300.
[10] John Locke, Two Traetises of Government, New Edition, London, 1993, hlm. 188
[11] Ibid
[12] Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah : Telaah Perbandingan Konstitusi berbagai negara, UI-Press, 1996, hlm. 106-116
[13] C.F. Strong, Modern Political Constiutution: Sidwick & Jackson, 1973, hlm. 245-247
[14] Montesquieu, Membatasi Kekuasaan : Telaah mengenai jiwa Undang-undang (The Spirit of the Law), Jakarta : Gramedia 1993, hlm. 44-45.

[15] G. Marshall, Constitutional Theory, Clarendon:Oxford University Press, 1971 Chapter. 5 Dalam Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, 2006, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hal.21
[16] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[17] Kamus Hukum Belanda Indonesia
[18] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, KONPRESS,2006, hal. 40
[19] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Konstitusi Press, 2006, hal. 63.
[20] Ibid, hal. 65
[21] Lihat Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman
[22] Ibid, hal. 211
[23] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan Kedua Puluh Satu, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hal. 37
[24] Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggungjawap Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian segi-segi Teoritik dan Yuridik Pertanggungjawaban Kekuasaan, Buku Pasca Sarjana Univ. Airlangga, Surabaya, 1990, hal. 30 seperti dikutip oleh Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, 2006, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 207
[25] A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hal. 52
[26] Miriam Budirjo, Op.Cit. hal. 35
[27] Ibid, hal. 36
[28] F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Dhiwantara, Bandung, 1964, hal. 127-129
[29] Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hal. 1
[30] Ibid, hal. 2
[31] Harjono, Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Makalah disampaikan pada diskusi hukum, Universitas Airlangga, Tanggal 6 Juni 2003, hal. 8
[32] Ibid, hal. 10
[33] H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Utrecht Uitgeverij Lemma BV,1995, hal.129 sebagaimna dikutip oleh Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, 2006, hal. 105
[34] Muchsan, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1992, hal. 37
[35] Ibid, hal.37
[36] Ibid
[37] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Fakultas Hukum UII, 2001, hal.20
[38] Paulus Effendi Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. xvi-xvii
[39] Ibid
[40] Jimly Asshiddiqie, 2002, Pengaturan Konstitusi tentang Independensi Bank Central, Makalah disampaikan dalam Seminar BI bersama FH Unair, Surabaya, 21 Mei 2002, hal.5

[41] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum FH UII, Yogyakarta, hal.69-70
[42] Odette Buitendam, Good Judges Are Not Born But Made: Recruitment, Selection and The Training of Judges in the Netherlands” dalam Ahsin Tohari Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, ELSAM, Jakarta, 2004, hal. 179
[43] Rifqie S. Assegap, Refleksi Fit and Proper Test Calon Hakim Agung, Ketua dan Wakil Ketua MA: Sebuah Pengantar”, Kata Pengantar untuk Buku LeIP Andai Saya Terpilih, Janji-janji Calon Ketua dan Wakil Ketua MA, Jakarta, 2002.
[44] Ibid.
[45] Ahsin Tohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, ELSAM
[46] Brian Barry, Justice as Impartiality, Oxford: Clerendon Press, 1995, hal. 13, dalam A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, ELSAM, 2004, hal. 53
[47] Ibid, hal. 54
[48] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hal. 153
[49] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hal. 157
[50] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, 2006, KONPRESS, Jakarta, hal.288
[51] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hal. 174
[52] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hal. 174
[53] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hal. 174
[54] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hal. 169-173
[55] Shimon Shetreet, (1995), Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and ContemporaryChallenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes (eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe, Netherlands. 1985). Dikutip dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, (2003), Mahkamah Agung Republik Indonesia.

[56] Bandingkan dengan Mahkamah Agung RI, (2003), Cetak Biru Mahkamah Agung RI, hal 7.
[57] Artidjo Alkostar, (2005), Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta.
[58] A. Muhammad Asrun, (2004), Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Elsam, Jakarta.
[59] Ibid
[60] Ibid
[61] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hal.169
[62] Lihat: Peter L. Strauss, The Place of Agencies in Government: Separation of Powers and Fourth Branch, 1984, Columbia Law Review. Lihat juga di dalam, John H. Garvey dan Alexander Aleinikov, Modern Constitutional Theory, West Publishing and Co, Minnesota, USA, 1994, halaman 296.

[63] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
[64] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995
[65] Buku Kedua Jilid 3C Risalah Rapat PAH I MPR, Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2001, hal. 433-442.
[66] Buku Kedua Jilid 8A, Risalah Rapat PAH I MPR, Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2001, hal. 26
[67] Naskah Akademik Rancangan UU Komisi Yudisial Versi Mahkamah Agung, hal. 26 dan 58
[68] Jimly Asshiddiqie, makalah, Kekuasaan Kehakiman di Masa Depan, Seminar diselenggarakan Pusat Pedngkajian Hukum Islam dan masyarakat, 13 Juli 2000
[69] Pasal 22 UU No 22 Tahun 2004
[70] Ahsin Tohari, Op. Cit

Tidak ada komentar: